Halo halo semuanya,
Gimana? Sehat? Sehat donk.
Jangan lupa vote dan komen ya.
Typo tandai ya supaya bisa langsung diperbaiki.Bianca mencoba menghasut teman barunya untuk tidak menyukai Luhan. Tapi mereka tentu saja tidak begitu saja percaya dengan ucapan Bianca. Selama ini Luhan tidak terlihat seperti yang Bianca katakan.
"Jangan bohong, Luhan tidak seperti itu."
"Aku tidak bohong, Luhan dulu teman satu sekolah aku." Bianca mencoba menghasut teman-temannya.
"Benarkah?"
"Iya."
Bianca tidak mengira rencananya tidak berhasil untuk membuat mereka tidak menyukai Luhan. Tidak seperti di sekolah lamanya yang sangat mudah untuk ia hasut. Ternyata siswa disini tidak mudah dibodohi. Sekarang Bianca malah ditatap dengan pandangan menyelidik. Bianca seketika merasa gugup.
"Itu..itu yang dikatakan teman sekolah aku dulu."
"Mungkin mereka salah paham atau mungkin mereka tidak menyukai Luhan."
"Luhan sekarang termasuk siswa populer lho Bi. Sekarang kamu liat Luhan, ia tidak melakukan apapun tapi bisa populer. Menurutnya kenapa?"
"Memang kenapa?" Bianca pun cukup penasaran dengan alasan kenapa Luhan bisa banyak disukai di sekolah ini. Sangat berbanding terbalik dengan di sekolahnya dulu.
"Tentu saja karena Luhan manis dan imut. Kyaaaa."
Lalu terdengar pekikan gemas. Bianca dibuat terdiam dengan ucapan teman barunya.
Luhan? Manis dan imut?
Bianca melihat ke arah Luhan yang sedang membaca buku di bangkunya. Luhan memiliki ekspresi yang selalu tenang, kulitnya putih dan sekarang pipinya juga terlihat lebih berisi dan segar. Memang Luhan terlihat sangat imut tapi Bianca tidak akan mengakuinya, justru karena itulah yang membuat Bianca iri. Luhan selalu terlihat tenang seperti tidak memiliki masalah apapun dan tidak menganggap apa yang terjadi padanya seperti bukanlah sebuah masalah.
Bianca merupakan anak konglomerat. Hidupnya selalu bergelimang harta tapi keluarganya tidak seharmonis kelihatannya. Ia sering mendengar kedua orang tuanya bertengkar dan itu membuat Bianca sedih sekaligus muak. Jadi ia merasa iri pada Luhan selalu terlihat tenang jadi ia melampiaskan masalah pada Luhan. Ia menghasut teman-temannya untuk membenci Luhan. Para guru juga seolah menutup mata atas kejadian yang terjadi pada Luhan di sekolah.
Bianca merasa puas melihat Luhan yang di bully, ia ingin melihat Luhan menderita. Tapi apapun yang mereka lakukan pada Luhan. Luhan tidak pernah membalasnya dan menerima begitu saja perlakuan ataupun kata-kata yang sangat kasar untuk di dengar. Luhan tetap seolah tidak peduli dan menganggap itu seperti bukan apa-apa.
Sampai satu hari Luhan menghilang, Bianca kira Luhan sudah tidak kuat dengan kehidupannya dan akhirnya menyerah. Jadi Bianca merasa puas. Tapi siapa sangka Luhan yang ia kira sudah menyerah ternyata hidup lebih baik disini. Apalagi setelah ia selidiki, Luhan diangkat menjadi seorang anak orang kaya dan terlihat sangat disayangi keluarga barunya dan juga di sukai di sekolah barunya. Ia merasa tidak puas dan semakin iri pada Luhan. Jadi ia mencoba menghasut teman-teman barunya tapi ternyata itu tidak berhasil. Luhan sudah menarik banyak perhatian dan Bianca juga menginginkan itu.
Bianca diam-diam menatap Luhan dengan tatapan tajam. Sungguh ini diluar prediksinya.
Luhan melihat ke arah depan dan lagi-lagi netranya bertabrakan dengan tatapan tajam Bianca. Luhan menaikkan alisnya dengan bingung. Ia tidak melakukan apapun tapi kenapa Bianca seperti marah kepadanya. Luhan merasa tidak pernah menyinggung perasaan siapapun, ia bukan tipe yang banyak bicara dan tidak pandai untuk memulai suatu pembicaraan.
Bel tanda berakhirnya kelas berbunyi, Luhan mengemasi buku-bukunya. Bianca menghampiri Luhan, ia masih penasaran dengan Luhan dan belum puas mengganggu Luhan. Tapi tentu saja ia tidak mau terlalu mencolok agar image siswa baiknya tidak tercoreng.
Luhan merasakan sesetua yang menyentuh di sekitar lengannya dan melihat Bianca yang ada di samping.
"Halo Luhan."
"Ada apa?"
"Tidak ada, hanya ingin mengucapkan selamat bertemu besok."
"Hm."
Setelah selesai mengemasi buku dan alat tulisnya, Luhan memakai jaket abu-abunya yang tersampir di belakang kursi. Ia tidak lagi berbicara dan Bianca pun hanya mengamati Luhan yang berdiri dan melangkah ke luar kelas dan tak lama si kembar datang menjemput Luhan.
Bianca mendengus melihat pemandangan itu. Sebagai anak tunggal, Bianca tentu saja iri dan ingin memiliki kakak yang baik seperti kakak kembar Luhan. Tak lama Bianca tersenyum melihat benda yang ada di tanganya. Benda itu berkilat tajam dan ada darah di ujungnya. Ia tersenyum miring lalu membuang benda itu keluar dari jendela.
Luhan tidak tahu dengan apa yang telah Bianca lakukan padanya. Ia duduk mobil dengan diapit si kembar di kanan dan kirinya.
Xavia memeluk gemas adiknya, Xavier sendiri hanya bisa melihat dalam diam karena sudah terlalu biasa dengan kelakuan adik kembarnya. Tapi tiba-tiba matanya tertuju pada noda merah yang menempel di baju kembarannya. Ia tidak akan salah menebak jika itu adalah darah. Xavier langsung memisahkan kedua adiknya.
"Via, darah."
Xavia juga terkejut melihat noda darah di bajunya tapi ia tidak merasakan apapun. Satu-satunya kemungkinan adalah adik bungsunya. Xavia dan Xavier saling memandang dan seolah tahu pikiran satu sama lain. Keduanya langsung memeriksa tubuh adiknya. Sedangkan Luhan hanya menatap bingung kedua kakaknya.
Benar saja si kembar melihat noda gelap di lengan kanan adiknya.
"Baby lepas jaketnya."
Meskipun bingung, Luhan tetap dengan patuh melepaskan jaket yang dikenakannya. Terlihatlah sayatan lumayan panjang di lengan kanan Luhan.
Xavia menatap dengan terkejut dan Xavier mengumpat dalam hati.
"Lulu, ini kenapa? Jujur sama Kakak."
Luhan juga baru sadar jika lengan terluka dan masih mengeluarkan sedikit darah. Tapi Luhan tidak ingat dan bagaimana bisa ia terluka.
Luhan menggelengkan kepala, "Luhan tidak tau, Luhan saja baru sadar jika lengan Luhan terluka."
Xavier dengan cepat membalut lengan terluka adiknya dengan perban yang diambilnya dari kotak P3K yang selalu tersedia di dalam mobil.
"Maaf, Luhan benar-benar tidak tau Kak."
"Baby, benar-benar tidak tahu?"
Luhan menganggukkan kepalanya. Si kembar hanya bisa menghela napas dalam hati. Inilah yang mereka takutkan, Luhan tidak bisa merasakan sakit yang membuatnya tidak sadar jika dirinya terluka bahkan tidak tau bagaimana dan darimana luka itu berasal.
"Jangan marah, ini tidak sa-"
"Lulu, jangan diteruskan."
Luhan tidak bisa meneruskan ucapannya. Ia dengan diam melihat kakaknya Xavier yang telah selesai membalut lukanya.
"Ini hanya sementara, kita perlu bertemu dengan om Alex. Percepat!"
Pengemudi mempercepat laju mobil sesuai dengan perintah tuan muda Rodriguez.
Xavia tidak lagi heboh, ia memegang tangan Luhan dan mengelusnya. Xavier juga melihat lengan adiknya yang terbungkus kain kasa. Mendadak suasana mobil menjadi hening dan tidak ada yang berbicara lagi.
Gimana, Luhan udah up lho.
Beri komentar donk 🤭10 Juli 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Feel
Teen FictionSaat membuka mata Luhan sudah berada di tengah hutan. Tidak usah memikirkannya lagi, sudah pasti ia di buang Luhan menghela napas, ia kembali menutup matanya. samar-samar ia mendengar langkah kaki mendekat. "Hey boy, kenapa ada di tengah hutan. In...