23

21.1K 2.6K 139
                                    

Halooo semuanya,
Sehat? Sehat donk pastinya.

Keesokan harinya, Luhan berangkat sekolah seperti biasanya. Kali ini Leandra dan Alex mewanti-wanti Luhan untuk lebih memperhatikan sekitar sekaligus tetap harus berhati-hati supaya tidak lagi terluka.

Luhan memasuki kelas seperti biasanya. Ia juga melihat tatapan Bianca yang langsung diarahkan langsung padanya saat memasuki kelas.

Luhan duduk di bangkunya lalu melepaskan jaket yang dipakainya. Terlihatlah lengannya yang terlilit kain kasa. Teman sekelasnya yang melihat luka Luhan mendekat dan menanyakan pada Luhan.

"Luhan ini kenapa?"

"Pasti sakit ya?"

"Ko bisa luka?"

"Luhan tidak apa-apa," jawab Luhan.

"Nanti lagi lebih hati-hati ya."

"Iya."

"Ini susu untuk Luhan."

"Ini roti, nanti dimakan ya."

"Ini juga untuk Luhan."

Luhan mendapatkan setumpuk makanan dan susu. Kemudian ia membagikan permen pada teman-temannya seperti biasanya.

"Terimakasih Luhan," ucap mereka dengan kompak.

"Luhan juga mengucapkan terimahkasih."

Meskipun kebanyakan dari mereka para siswi, teman sekelas laki-laki Luhan tidak merasa iri. Mereka sering bertanya pada luhan jika ada soal yang tidak mereka mengerti. Luhan akan mengajari mereka dengan sabar dan cara penyelesaian yang diberikan Luhan sangat mudah untuk mereka pahami. Jadi, tentu saja mereka juga menyukai Luhan tapi mereka tidak bisa secara terang-terangan menunjukkan rasa sukanya seperti teman sekelas perempuan mereka yang akan memberikan makanan dan minuman pada Luhan.

Bianca menatap tidak senang saat Luhan menjadi pusat perhatian teman sekelasnya. Disini ia siswa baru jadi seharusnya mereka lebih memperhatikannya, bukannya Luhan. Ia semakin tidak menyukai Luhan. Ia sedang memikirkan cara lain untuk membuat mereka tidak menyukai Luhan.

Luhan sedang duduk di bawah pohon, ia memperhatikan teman sekelasnya yang sedang berolahraga. Teman sekelasnya diberi tahu jika kesehatan Luhan tidak terlalu baik yang mengharuskannya tidak bisa mengikuti pelajaran olahraga. Jadi, mereka mengerti dan menyuruh Luhan untuk duduk saja dengan tenang.

Luhan sendiri tidak terlalu keberatan dengan aturan yang dibuat keluarganya, ia tahu jika semua itu demi kebaikannya. Luhan sama sekali tidak merasa tertekan ataupun terkekang. Ia merasa jika semua itu merupakan bentuk perhatian keluarganya untuknya.

Mendengar suara langkah mendekat Luhan melihat ke samping, ada Bianca yang sudah berdiri di samping dengan tatapan angkuh.

"Kamu ngga malu sebagai cowo?"

"Memang, kenapa harus malu?"

"Kamu tidak lihat para cewe disana saja ikut olahraga sedangkan kamu yang cowo duduk manis di sini."

"Bukan urusanmu."

"Sekarang kamu sombong karena sudah menjadi anak orang kaya, iya?"

"Tidak."

"Halah, kamu itu anak angkat. Jadi sadar diri dan jangan manja."

Luhan mengabaikan ucapan Bianca. Ia tidak mau jika harus berdebat. Ia tidak merasa sakit hati, ia sudah terlalu kebal dengan omongan yang menyakitkan. Ia sudah hidup dengan paman dan bibinya yang sudah bertahun-tahun menghinanya. Bahkan pernah secara terang-terangan menginginkannya untuk mati. Tapi Luhan tidak sekalipun terlintas untuk bunuh diri. Hidup ini terlalu berharga jika harus meladeni mereka yang tidak menyukaimu, Luhan tidak mau membuang waktunya. Terkadang mengabaikan mereka merupakan cara terbaik untuk menghadapi mereka.

Bianca sangat kesal saat diabaikan Luhan. Ucapannya tidak berhasil memprovokasi Luhan. Inilah yang tidak ia sukai dari Luhan. Bagaimana pun situasinya Luhan akan tetap terlihat tenang dan tidak akan merasa terganggu. Seolah itu tidak dapat mempengaruhi Luhan sama sekali. Akhirnya Bianca pergi meninggalkan Luhan dengan kesal.

Luhan melihat Bianca yang pergi dari sudut matanya.

Tiba-tiba sebuah bola basket melayang ke arah Luhan tapi Luhan dengan sigap langsung menangkapnya. Ia melihat seorang siswa dari kelas sebelah yang sepertinya pernah membuatnya terjatuh saat bertanding sebelumnya.

Luhan mengembalikan bola itu pada siswa tersebut.

"Ayo, bertanding lagi."

"Tidak, Luhan tidak mau."

"Takut, huh?"

Luhan tidak menjawab perkataan yang sepertinya memprovokasinya.

"Ayo bertanding, aku menantangmu!"

"Tidak."

Bola basket itu terlempar lagi ke arah Luhan dan Luhan menangkapnya kembali.

Luhan masih terlihat tenang, tidak terlihat marah sedikit pun. Ia berdiri dan berjalan ke arah siswa yang sedari tadi ingin terus bertanding dengannya.

"Ayo taruhan. Jika Luhan bisa memasukkan bola dari sini, kamu akan diam."

"Sombong! Aku yakin kamu pasti tidak akan bisa."

"Maka dari itu, ayo bertaruh."

Siswa itu melihat jarak mereka berdiri lumayan jauh dan ia berpikir itu sangat mustahil dan merasa itu hanya akal-akalan Luhan karena takut kalah.

"Oke, deal!"

Para siswa yang sedari tadi mendengar merasa tertarik dengan taruhan keduanya. Mereka juga berpikir itu sangat tidak mungkin untuk memasukan bola ke dalam ring dari posisi mereka berdiri. Sedangkan teman sekelas Luhan merasa khawatir.

"Berikan bolanya."

Siswa lainnya memberikan bolanya pada siswa tersebut.

Luhan memegang bola basket yang ada di tanganya lalu melihat kearah ring.

"Tidak akan mung—"

Belum selesai ucapan siswa itu selesai , terdengar sorakan dari siswa disekitar. Luhan berhasil memasukkan bola dengan mulus ke dalam ring!

Siswa yang bernama Andrian itu hanya bisa di buat tercengang. Ia menatap tidak percaya pada Luhan.

"Sekarang diam, lanjutkan saja bermainnya. Luhan ingin duduk disana."

Luhan berjalan dan kembali duduk ke tempatnya semula.

Andrian akhirnya hanya bisa menerima kekalahannya. Malahan sekarang ia merasa sedikit kagum pada Luhan.

Di lantai tiga, seorang pemuda bersandar pada tembok dan melihat ke bawah dengan pandangan tertarik. Pandangannya terarah pada seorang pemuda yang sedang duduk di bangku. Kabar yang beredar di sekolah sepertinya tidak salah tentang pemuda itu. Ia bisa melihat pemuda bertubuh mungil itu terlihat sangat tenang, lucu dan manis?

Luhan mengemasi bukunya ke dalam tas, ia bisa melihat seseorang berdiri di sampingnya. Dan melihat lagi-lagi Bianca. Saat ini, hanya ada mereka berdua di kelas.

Luhan dengan cepat menangkap pergelangan tangan Bianca, ia bisa melihat Bianca memegang sebuah benda tajam di tangannya. Luhan meremas pergelangan tangan Bianca dengan lebih keras, tidak lama terdengar benda berdenting jatuh.

Bianca merasakan sakit di pergelangan tangannya dan tidak bisa menahan desisan kesakitannya.

Luhan menatap datar Bianca yang sukses membuat Bianca merinding. Bianca baru pertamakali melihat tatapan Luhan seperti ini.




Maapin Inay yang baru bisa up ya.

Beberapa hari kemarin Inay buntu dan harus mencari inspirasi jadi baru bisa up.

20 Juli 2023

Don't FeelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang