0.5 Cala Mau Lakhsya

3.4K 140 10
                                    

Beeeppp... Beeeppp

Tiiiit

Beeeppp... Beeeppp

Tiiiit

Suara monitor sign dan juga Electrocardiogram terdengar bersahutan. Tiga hari sudah berlalu dan memang Dokter sendiri mengatakan bahwa perkembangan kondisi Lakhsya ini terjadi begitu lambat. Operasi kecil untuk membantu memompa air yang berada di dalam paru-paru sudah berhasil dilakukan.

Meski berangsur stabil tetapi Lakhsya belum juga menunjukan tanda-tanda kesadaran. Bocah lelaki berusia tujuh tahun tersebut yang biasanya selalu menunjukan tatapan berbinar juga raut penasaran yang mengundang gemas tampak betah memjam. Wajahnya pucat dengan bibir separuh terbuka akibat adanya selang pernapasan yang dihubungkan melalui mulut.

Wajahnya... Handri tanpa sadar kembali memalingkan wajah. Hembusan napasnya memberat dengan dengus samar. Entah kenapa sejak pembicaraannya bersama Anita terakhir kali, setiap melihat Lakhsya membuat Handri jadi membayangkan wajah Akmal. Baru dirinya sadari jika diamati dengan lebih serius memang keduanya memiliki potongan wajah yang sama.

"Mas?"

Handri sedikit mengerjap. Tanpa sadar setiap kali membandingkan Lakhsya dengan mendiang Akmal memang selalu membuatnya termenung. Berpikir bahwa ini adalah karma karena dirinya adalah penyebab laki-laki yang menjadi mantan suami Anita meninggal maka kini, seumur hidupnya dirinya harus terus melihat sosok Akmal dalam diri Lakhsya.

"Kamu melamun lagi?" Anita mendekat dan mengelus wajah Handri lembut.

Handri yang saat ini duduk disisi bed pasien tampak memejam dan menikmati sapuan lembut tersebut. "Mm. Hm."

"Aku perhatikan kamu sering melamun akhir-akhir ini. Kenapa? Kamu tahu kan kalau kamu bisa menceritakan apapun sama aku?"

"Aku baik-baik saja, hanya masalah kantor yang nggak terlalu penting" Handri menarik Anita untuk duduk dipangkuannya. Pekikan terkejut Anita tidak Handri hiraukan dan justru membuatnya mengusakan wajah dibahu sang istri.

"Jangan begini, ada Lakhsya" Anita mengatakannya meski tidak sama sekali berusaha menyingkirkan kepala Handri yang rebah dibahu.

"Katakan kalau kamu mencintai aku" Handri mengangkat wajah dengan pertanyaan spontan semacam itu. "Katakan kalau aku adalah satu-satunya buat kamu"

Anita terdiam beberapa saat, tatapannya masih tampak menyorot bingung tapi akhirnya mengangguk juga. "Aku mencintai kamu. Dalam hidupku, hanya ada kamu dan Lakhsya. Keluarga kecil kita"

Senyuman Handri yang mengembang perlahan meluruh setelah Anita menyebutkan nama Lakhsya. Rasanya seperti harus bersaing dengan orang yang sudah mati dan Handri mulai gusar karenanya. "Lebih besar mana? Aku atau Lakhsya?"

Kernyitan di kening Anita semakin dalam kentara, "kenapa tiba-tiba jadi harus dibandingkan? Aku mencintai kalian berdua dan kalian sama-sama penting. Kalian adalah hidupku"

Handri masih tampak tidak puas tetapi tidak lagi mendesak terutama saat suara monitor pasien milik Lakhsya terdengar sedikit berjeda. Anita segera melepaskan diri dari dekapannya dan beralih memeriksa. "Kenapa?"

"Oh, ini kantung drainase penampungan urinenya penuh. Perawat mengatakan memang kalau keadaannya ini memicu produksi urine yang tinggi" Anita menekan bel untuk memanggil perawat. Meski sudah diajari untuk mengganti penampungan urine Lakhsya tetapi Anita masih merasa tidak tega melakukannya. "Untung saja ini semua nggak berbahaya untuk Lakhsya"

Lagi-lagi Lakhsya. Rasanya Handri mulai muak mendengarnya.

Seorang perawat datang dan Anita langsung memintanya untuk membantu Lakhsya menghanti selang penampungan urine nya. Handri yang biasanya akan berusaha menunjukan sikap lembutnya memilih melengos dan berbalik menuju sofa di ruangan tunggu. Lakhsya memang ditempatkan pada ruangan VVIP kelas satu yang memiliki ruangan penunggu dengan set sofa juga kabinet tv plasma dan juga kitchen set sederhana.

Si Lumpuh Kesayangan Nona Cala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang