4.6 Selangkah Lebih Cepat

992 45 3
                                    

Cala diam dan terpekur. Ketegangan yang melingkupi ruang kerja tersebut jelas tidak bisa diabaikan meski yang dilakukan oleh Cala hanyalah diam sejak pertama kali datang. Berbeda dengan Athar yang sibuk memaki dalam panggilan telepon.

"Bisa-bisanya kalian bertindak ceroboh dan membiarkan gerakan kita terbaca! Apa kalian seorang amatir?!"

Sementara asisten Athar berdiri kaku diujung meja dan atasannya tersebut terlihat masih belum puas memaki untuk meluapkan kekesalan. Tidak lama Athar memutuskan megakhiri panggilan teleponnya dan kembali mengantungi ponsel miliknya. Langkahnya terayun mendekat meja kerja dimana Cala yang masih saja mengunci mulutnya.

Diamnya Cala jelas lebih mengkhawatirkan dan itulah yang memicu kemarahan Athar dua kali lipat kepada para bawahannya.

"Aku sudah berjanji akan menemukannya, jadi jangan terlalu marah untuk yang satu ini."

Tidak ada tanggapan. Bahkan menoleh pun tidak Cala lakukan. Rautnya kaku dan tatapannta dingin. Siapapun yang menghadapi Cala seperti ini maka orang waras pasti akan segera memilih pergi hingga emosi Cala kembali stabil.

Tapi Athar tidak bisa melakukannya, "aku pasti akan segera menemukannya, jadi—"

"Jangan berbicara lagi."

Itu kalimat paling dingin yang pernah Athar terima. Bahkan bentakan juga teriakan dari kakeknya—Martaji Santoso terdengar jauh lebih baik dibandingkan satu kalimat dingin Cala. Mendadak kegamangan menyergapnya. Apakah sudah benar keputusannya untuk melibatkan diri dan bermain sandiwara menikahi wanita seperti Cala?

Perlahan Cala mengerjap, menyadari sikapnya dan pelan-pelan memperbaiki posisi duduk. Bahunya yang sebelumnya kaku mulai turun dan garis bibirnya terlihat lebih turun. "Aku mau semua informasi mengenai kepemilikian paviliun itu. Carikan semuanya untukku."

Sedikit kaku, Athar mengangguk. "Aku akan meminta Wisnu untuk mengeceknya." Lalu tatapannya tertuju pada asistennya yang langsung mengangguk dan kekuar dari ruangan dengan ponsel menempel di telinga.

"Mendekatlah," pinta Cala.

Helaan napas Athar berarti bahwa laki-laki tersebut menyerah. Dengan mengenyahkan pikiran impulsifnya, Athar mengayun langkah mendekati Cala. "Aku tidak mengerti hubungan seperti apa yang kamu miliki dengan lelaki ini, tapi karena Pak Hambalang bahkan terlibat jadi aku menebak ini melibatkan skandal keluarga."

Ulasan senyum miring Cala terlihat tidak lebih baik dibandingkan ujaran dinginnya sebelumnya. "Dia adikku. Lakhsya adalah keluarga."

"Adik? Tapi—Pak handri hanya memiliki kamu sebagai pewaris tunggalnya." Athar yakin sekali karena jikapun ada pewaris lain dan apalagi seorang laki-laki, maka jelas keberadaannya akan menjadi lebih penting untuk diungkapkan.

"Lebih tepatnya, dia adalah adik yang paling kusayangi." Cala memastikan senyumnya lebih baik kali ini. "Aku sendiri yang merawatnya dari kecil. Dia tidak memiliki darah Tahir, tapi keberadaannya bahkan mampu membuat seorang Hambalang Tahir merasa cemas. Lucu sekali memang..."

Kali ini Athar tidak langsung menyuarakan pertanyaannya. Lebih dulu mencerna apa yang berusaha Cala sampaikan dengan bermain kata-kata tersebut. Dan satu hal yang akhirnya dirinya dapatkan bahwa nilai anak ini dimata Cala ternyata lebih berharga dibandingkan kekuasaan atau bahkan hubungan keluarga yang dimilikinya.

"Kamu... mencintainya?"

"Aku tidak tertarik dengan perasaan konyol seperti itu. Tapi, dia adalah milikku. Kesayanganku. Jadi, aku harus mendapatkannya kembali apapun yang terjadi."

Sebesar itu obsesi Cala untuk bisa mendapatkan Lakshya kembali. Sebuah keinginan kuat yang tidak mungkin Athar abaikan. Dan dirinya juga masih membutuhkan Cala untuk mencapai kebebasannya.

"Aku akan membantumu mendapatkannya, jadi jangan pernah berpikir untuk menghentikan pernikahan atau berbuat sesuatu yang akhirnya mengundang kecurigaan."

"Aku tahu..." karena Cala mulai merasa menikahi Athar adalah jalan tercepat untuk merengkuh Lakhsya-nya kembali. Cala meraih tangan Athar yang langsung dibalas dengan kernyitan tidak senang. "Tapi bukan hanya aku, kamu juga harus mulai terbiasa."

Athar menggeleng pelan. Tahu bahwa Cala hanya berusaha mempermainkannya sebelum menarik tangannya lepas. "Lebih baik kamu istirahat lebih awal. Aku akan mampir sebentar ke rumah sakit, Wisnu melaporkan kalau Papa dan Mama ku disana. Qatar mengalami kecelakaan di lokasi proyek tambang dan aku belum tahu separah apa kondisinya."

Seringai samar Cala ulas dengan begitu anggun. "Hmm... semoga kedua tangannya baik-baik saja."

Sedikit aneh, tapi Athar tidak menaruh curiga lebih ketika Cala menyinggung perihal tangan meskipun keduanya sama-sama baru mendengar berita kecelakaan tersebut. Setelah memastikan Cala bersiap istirahat lebih awal barulah Athar beranjak pergi.

Mereka mungkin gagal mendapatkan Lakhsya hari ini, tapi untuk yang selanjutnya akan mereka pastikan bahwa mereka akan sepuluh langkah lebih cepat dalan menanggapi situasi serupa.

Benar. Ini semua hanya masalah waktu.

■■¤¤■■

Lampu utama di ruang depan sudah dimatikan ketika lewat dari tengah malam mobil sedan hitam berhenti di pos keamanan mansion utama kediaman Tahir. Dua orang penjaga pos depan mendekat saat kaca film kursi depan dibuka.

"Saya datang atas perintah Bu Astari."

Setelah menunjukan tanda pengenalnya, gerbang utama dibuka secara otomatis dan mobil dipersilahkan masuk. Derum pelannya dibuat sehalus mungkin mengingat waktu yang sudah melewati tengah malam.

"Bukakan jalannya, biar aku yang menggendongnya masuk."

Mereka bersepakat. Satu pengawal membuka jalan dan satu lainnya menarik pelan tubuh ringkih Lakhsya. Dua lengannya diangkat hingga sepenuhnya berpindah kembali dalam gendongan. Piyama Lakhsya yang kusut tersingkap dibagian perut dan menampilkan kulit pucat dibaliknya.

Bagi dua orang pengawal bertubuh tegap dan berotot, Lakhsya memang terlalu lembut dan rapuh. Letak gendongan dibenarkan dan rabung oksigen portabel diangkat untuk disampirkan di bahu.

"Bu Astari berpesan agar tidak sampai membuat keributan. Kita akan masuk melalui pintu beranda samping dan langsung membawa Tuan Muda ke ruangan belakang."

Keduanya lantas melangkah dalam senyap sesuai interuksi dari Astari. Seorang kepapa pelayan paruh baya sudah menunggu ketika mereka tiba di beranda samping. Dalam diam melanjutkan langkah menyusuri lorong-lorong dengan penerangan redup menuju ruangan belakang.

Deretan ruangan berisi kamar yang ditujukan untuk para tamu atau kenalan yang menginap mereka lewati untuk mencapi satu pintu yang terletak di paling ujung dekat dengan area taman terbuka. Sebuah ruangan yang menjorom kearah halaman belakang tempat koleksi tanaman hias langka milik Masayu Tahir semasa hidupnya dan masih terus dirawat sebagai bentuk cinta kasih seorang Hambalang Tahir kepada mendiang istrinya.

Kunci pintu diputar dan kepala pelayan meminta pengawal untuk membawa Lakhsya masuk lebih dulu. Lampu gantung utama ruangan tersebut menyala otomatis dan dua pengawal tersebut bergegas menuju ranjang di tengah ruangan.

Lakhsya kemudian dibaringkan dengan hati-hati disana.

"Apakah ruangan ini tidak terlalu belakang?" Salah satu pengawal mengamati sekeliling yang sangat hening. "Tuan Muda masih harus mendapatkan perawatan khusus."

"Ruangan ini jauh dari aktivitas Tuan Besar dan para tamunya meski masih berada di bangunan yang sama. Nanti juga akan ada perawat pribadi yang mendampingi."

Kedua pengawal mengangguk dan tahu untuk tidak terlibat lebih jauh. Tugas mereka selesai disana dan setelah menjelaskan secara singkat kondisi Lakhsya yang sempat henti jantung, mereka bergegas pergi. Tidak boleh ada satu orangpun yang tahu dan mereka harus segera menghapus jejak yang ada.

Kepala pelayan menurunkan liter oksigen dan menyelimuti tubuh Lakhsya hingga batas bahu. Setelahnya mengatur suhu ruangan dan baru menyalakan lampu tidur. Ingat bahwa Lakhsya yang terpengaruh obat bius tidak akan sadarkan diri setidaknya sampai besok pagi maka kepala pelayan tersebut lantas meninggalkannya sendirian.

Pintu ruangan ditutup dan dikunci dari luar. Keheningan menelan segala aktivitas yang sebelumnya terjadi. Seolah, tidak pernah ada dua pengawal yang beberapa saat lalu membawa Lakhsya dalam keadaan tidak sadarkan diri.

■■¤¤■■

Si Lumpuh Kesayangan Nona Cala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang