1.0 Cala Adalah Aib yang Berharga

1.7K 78 4
                                    

"Sekarang tarik napas yang panjang... tahan sebentar dan jangan bergerak."

Sebuah jarum suntik dengan ukuran paling kecil agar tidak sampai terlalu menyakiti diinjeksikan pada lipatan siku Cala. Seorang Dokter pribadi yang selama ini selalu menangani perkembangan kondisi Cala tampak berhati-hati saat melakukan tugasnya tersebut.

Sementara Cala hanya mengernyit samar. Dirinya tidak pernah suka disuntik tetapi karena Papinya terlihat begitu serius meminta maka mau tidak mau Cala menurutinya.

"Anak baik. Sekarang sudah selesai," Dokter tersebut membereskan stein miliknya. "Nanti kalau mengantuk—"

"Aku nggak mengantuk." Cala menyela serius. Wajahnya masih sedatar biasanya. Ditatapnya Handri yang bersedekap disisi ranjang. "Sekarang sudah diperiksa dan sudah diberi obat. Papi sudah janji tadi."

"Tentu. Papi akan menepati apa yang Papi katakan. Tapi, sekarang Cala harus istirahat dulu sebelum bertemu dengan Lakhsya, oke?"

Wajah Cala yang datar terlihat semakin menjadi. Tatapannya menajam persis mengingatkan Handri akan ketegasan seorang Tahir.

"Aku mau Lakhsya. Sekarang."

"Nggak bisa sekarang, Cala. Lagipula kan Dokternya sudah bilang kalau obatnya bisa buat mengantuk. Sekarang Lakhsya masih sakit jadi dia masih butuh banyak istirahat di kamarnya."

"Kalau begitu, aku saja yang kesana." Cala beranjak menyibak selimut di kedua kakinya. Hendak bergerak turun saat lebih dulu seorang pelayannya menahan.

"Papi harus bicara dulu dengan Tante Anita. Kalau Tante Anita mengizinkan, baru boleh—"

"Aku nggak suka wanita itu!" Tajam Cala tanpa ada rasa sungkan sedikitpun.

Ini adalah apa yang Handri takutkan. Seperti halnya dirinya yang mencintai Anita dan bisa mengupayakan segalanya demi bisa memiliki wanita terkasihnya tersebut, maka begitu juga dengan Cala. Saat ini, Handri bahkan seolah melihat dirinya sendiri dalam tatapan Cala.

"Cala, Tante Anita itu Mamanya Lakhsya. Jadi dia yang bisa memutuskan untuk Lakhsya."

Cala menggeram pelan. Terlihat begitu tidak senang dengan apa yang coba Handri jelaskan. "Lakhsya milikku!"

"Cala..."

Melihat ketegangan yang terjadi, tidak ada yang berani membuka suara. Cala menjadi yang pertama memalingkan wajah dan perlahan raut wajahnya berangsur kembali mendatar. "Aku mau Opa."

Demi Tuhan! Handri bisa menebak akan kemana ini berakhir seandainya saja Hambalang Tahir turut ikut campur tangan. Papanya tersebut sudah jelas akan menberikan apapun yang Cala inginkan. Pewaris Tahir yang berharga adalah Cala dan Handri tidak akan memiliki banyak pilihan seandainya tidak segera mengambil sikap.

Beruntung obat yang sebelumnya diinjeksikan kedalam pembuluh darah Cala sudah lebih dulu bereaksi. Tatapan juga ekspresinya yang dingin berangsur meluruh. Pelayan pribadi Cala dengan sigap segera menaikan kaki Nona kecilnya tersebut dan lanjut melingkupkan selimut.

Cala sudah mulai mengerjap-ngerjap akibat pengaruh obat tetapi rupanya masih cukup sadar untuk kembali menyudutkan Handri. "Saat bangun nanti, aku mau telepon Opa."

Lalu saat akhirnya Cala benar-benar terlelap sepenuhnya dan Handri hanya bisa mendesah lelah akan apa-apa yang ada di kepalanya saat ini. Pilihan satu-satunya sekarang adalah dengan meyakinkan Anita.

Suara derap langkah dari arah pintu segera mengalihkannya. Seorang kepala keamanan menunduk hormat kepadanya sebelum menyampaikan laporannya. "Katakan."

"Pelayan yang menyebabkan kekacauan sudah saya urus dan saya pastikan tidak akan pernah muncul lagi di mansion ini, Tuan. Selanjutnya, Dokter Gazy juga sudah kembali beberapa saat lalu dan menyampaikan pesan bahwa Tuan diminta untuk datang menemuinya di rumah sakit."

Si Lumpuh Kesayangan Nona Cala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang