4.1 Ikatan Ibu dan Anak

1.1K 47 1
                                    

"Kondisi Tuan Muda sudah sangat kritis. Saya tidak tahu berapa lama lagi Tuan Muda mampu bertahan..."

"Saya... akan kesana."

"Mas?"

Sebuah sentuhan lembut membuat fokus Handri Tahir kembali. Kerjapannya perlahan berubah menjadi senyuman lembut hingga dielusnya penuh kasih sayang lengan yang melingkupi tangannya.

"Mas melamun?"

Tidak langsung menjawab dan Handri memilih menarik kepala sang istri untuk diberikan kecupan hangat. "Maaf ya... Mas hanya memikirkan beberapa masalah pekerjaan tadi."

"Apa sangat penting? Kalau begitu pulang saja, aku bisa—"

"Bukan masalah besar." Handri kembali mengecup sang istri, "lagipula kunjungan ini memang penting. Aku... akan membawa kamu ke suatu tempat. Menemui seseorang."

"Siapa?"

Ada nada penasaran yang ketara dan Handri merasa buruk karena tidak dapat menjawab lebih lanjut. Tetapi ini memang bukan waktu yang tepat—tidak akan pernah ada waktu yang tepat.

Tidak lama, SUV yang mereka tumpangi berhenti di depan undakan teras sebuah paviliun yang begitu asri. Suasananya begitu sejuk juga tampak lengang, meski semua itu hanyalah kamuflase semata. Paviliun tersebut hanyalah salah satu dari properti pribadi milik mendiang Masayu Tahir, istri pertama dari Hambalang Tahir. Tidak lain adalah ibu tiri dari Handri sendiri.

Handri sebagai pewaris sekaligus keturunan satu-satunya memang terlahir dari istri kedua dan kini, keluarga Tahir juga hanya memiliki Cala sebagai penerusnya. Dirinya tidak mungkin lagi memberikan seorang anak, terlebih dengan keadaan istrinya yang lemah sejak tersadar dari koma enam tahun lalu.

Harapannya hanyalah Cala dan tindakannya hari ini juga termasuk salah satu usahanya untuk mengamankan hidup Cala. Putrinya tersebut tidak bisa hidup tanpa Lakhsya dan kedatangannya hari ini adalah untuk menyelamatkan hidup anak tersebut.

Putra dari istrinya. Lakhsya.

Keadaan senyap dan hening dibagian luar pagar segera digantikan dengan aura intimidasi begitu memasuki halaman luas dengan deretan pohoh Angsana juga Palem Raja disepanjang jalan pavling menuju kediaman utama. Handri lebih dulu keluar dari pintu penumpang belakang sebelum mengulurkan tangan kepada istrinya yang patuh berpegangan.

"Pelan-pelan, sayang."

Istrinya yang tidak lain adalah Anita Tahir, dengan dress rumahan berbahan ringan sebatas betis tampak melangkah hati-hati keluar dari mobil yang sama. Lengannya yang kurus dan pucat segera bertaut dengan milik sang suami.

"Kita dimana Mas?" Anita menatap sekitar yang tampak asing. Sesekali netranya akan tampak memicing berusaha mengenali beberapa objek yang tidak tertangkap jelas oleh penglihatannya. "Ini bukan di rumah kan?"

Handri dengan penuh kelembutan mengulurkan tangan untuk mengusapi anakan rambut milik sang istri, membelainya singkat sebelum mengembalikannya pada belakang telinga. Diciumnya pelipis sang istri sembari merangkul untuk menuntun langkah. "Kita datang kesini untuk menjenguk seseorang."

"Siapa?"

Handri lebih dulu fokus memastikan dua kaki istrinya menapak pada undakan tangga yang sesuai sebelum menjawab. Penting baginya untuk memperhatikan langkah karena Anita begitu bergantung padanya.

"Seorang kenalan. Ingat tentang yang aku ceritakan beberapa hari lalu?"

Anita memastikan pijakannya tidak lagi berupa anakan tangga dan baru sedikit melonggarkan eratan lengan. "Oh, putra dari klien kita?"

Si Lumpuh Kesayangan Nona Cala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang