1.4 Tidak Ada Jalan Keluar

2.5K 98 4
                                    

3 hari kemudian
.
.
.

Geliat kecil juga indikator konstan pada monitor sign menandakan bahwa Lakhsya sudah mulai terbangun. Bocah kecil tersebut merasakan pegal diseluruh badan. Tangannya yang terpasang oxymeter terangkat untuk mengucek mata.

"Sudah bangun?"

Lakhsya terlihat mengerjap lambat. Tatapan matanya sayu sementara wajahnya terlihat lesu. "Mama... belum pulang?"

Sebuah pertanyaan yang langsung membuat raut wajah Cala berubah murung. Ekspresinya berubah kaku dalam sekejap. Benci sekali setiap Lakhsya menanyakan keberadaan Anita padahal ada dirinya yang selalu menemani dan tinggal disisinya.

"Kakak? Mama... dimana?"

"Nggak ada." Dan Cala tidak mau repot-repot menyamarkan nada sinisnya. "Tante masih belum pulang."

"Kok lama..." mendengarnya, Lakhsya langsung memasang wajah siap menangis. "Terus ini mau dilepas aja... nggak suka,"

Uap tebal selalu memenuhi permukaan masker bening yang melingkupi mulut dan hidung setiap kali Lakhsya berbicara. Tentu membuatnya sangat tidak nyaman. Semburan udaranya juga, meski tidak kuat tetapi tetap membuat mulut dan tenggorokannya kering.

"Jangan. Ini nggak boleh dilepas." Cala langsung menahan saat tangan Lakhsya berusaha untuk menurunkan masker oksigennya.

"Tapi pengap. Sakit juga tenggorokannya, Kakak." Lakhsya tidak berbohong. Rasanya memang sangat tidak nyaman. "Terus ini juga. Mau dikancing bajunya... malu."

Tatapan Cala jatuh pada bagian piyama atas Lakhsya yang sengaja dibiarkan terbuka kancingnya. Tentu saja hal tersebut dilakukan untuk memudahkan pemasangan dan memberian akses bagi lempeng electroda yang terbuhung dengan pendeteksi vital.

"Kamu harus pakai ini. Dokternya yang bilang begitu." Cala memasang wajah datarnya. Sejurus kemudian, saat mendapati air mata bergumul di sudut mata Lakhsya, raut wajahnya melembut perlahan.

Ada perasaan meletup-letup senang saat melihat Lakhsya menangis. Gemas sekali. Rasanya, Cala benar-benar ingin menyimpan Lakhsya untuk dirinya sendiri. Ingin mengurung Lakhsya seumur hidupnya untuk dirinya miliki sendiri.

"Tapi nggak suka..." Lakshya mulai merengek.

Cala itu kaku. Sukanya hanya memerintah dan terus memasang wajah dinginnya kepada siapapun orang yang berinteraksi dengannya. Tapi, Lakhsya ini adalah pengecualian. Sejak awal ikatan tersebut terjalin, Lakhsya sudah lebih dulu mencuri perhatiannya. Tidak pernah selama hidupnya, Cala menyukai seseorang sebesar Cala menyukai Lakhsya.

"Tapi tetap harus dipakai sampai nanti sembuh, ya..." usapan lembut Cala menyapu lengan atas Lakhsya.

"Enggh..." Lkahsya menggeliat tidak nyaman.

"Sekarang tidur lagi, nanti waktunya makan malam ng— Kakak... bangunkan." Wajah Cala sedikit bersemu saat turut membahasakan dirinya sebagai kakak kepada Lakhsya.

"Nggak mau. Sekarang nggak ngantuk lagi. Mau ke kamar mandi," Lakhsya menumpu sikut untuk beranjak duduk tetapi dengan cepat Cala menahannya.

"Jangan bergerak."

Lakhsya mengernyit, "tapi mau ke kamar mandi Kakak. Mau pipis."

Cala tetap menggeleng. Tidak senang dengan pemikiran Lakhsya menjauh atau bisa saja meninggalkannya saat tahu kalau dirinyalah penyebab Mamanya sampai kritis di rumah sakit.

"Minum vitamin dulu," Cala beranjak pada botol kecil bertuliskan vitamin yang diresepkan oleh Dokter Vio.

"Tapi mau ke kamar mandi—"

Si Lumpuh Kesayangan Nona Cala [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang