2. RAHASIA

8.4K 1.1K 151
                                    

"Bapak nggak ingat saya?" tanya Angreni dengan wajah bingung bodohnya sambil menatap lamat-lamat dosen di hadapannya yang kini tengah membaca ajuan proposalnya. Pak Arga mendongakkan kepalanya, menatap Angreni sepersekian detik, sebelum kembali membaca ajuan proposalnya. "Soalnya, saya nggak ingat Bapak," lanjut Angreni dengan ucapannya yang terkesan melantur dan lagi-lagi tidak ditanggapi Pak Arga.

"Kamu jangan mengalihkan pembicaraan ya," balas Pak Arga dengan nada tegasnya. Sial, rencana Angreni ketahuan. Angreni menghembuskan napas kesal dan kembali fokus pada skripsinya yang dipegang sama Pak Arga. "Judul kamu ini nggak jelas. Kamu sendiri memangnya mau membaca karya ilmiah dengan judul 'Pengaruh Psikologi Warna Hitam dalam Ageman Dukun Santet'?"

"Menurut saya itu judul yang sangat menarik, Pak. Bapak sendiri memangnya nggak penasaran kenapa dukun santet selalu pakai baju hitam?" tanya Angreni dengan nada percaya dirinya, tetapi lagi-lagi ia hanya dihadiahi tatapan tajam dari Pak Arga.

"Pertama, ini sangat stereotipikal. Kedua, ini nggak memberikan dampak apa-apa pada masyarakat umum..."

"Tapi, Pak...'

"Menurut kamu, kalau saya sebagai orang awam membaca karya ilmiah itu, saya jadi bisa mengindentifikasi dukun yang menyantet saya? Tidak kan?" potong Pak Arga tanpa repot-repot menatap Angreni. Angreni langsung bungkam dengan hembusan napas pelannya, mengetahui jawabannya ternyata sangat tertebak.

"Dan ketiga, pengambilan data kamu akan diragukan keasliannya," ucap Pak Arga sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya melihat karya tulis anak bimbingannya. Baru saja sampai di pertengahan halaman, Pak Arga langsung melempar proposal itu di atas meja dengan wajah tidak puasnya.

Pak Arga tiba-tiba saja diam sambil menatap tepat di mata Angreni cukup lama. Angreni balas menatap Pak Arga dengan tatapan bingungnya. Tatapan Pak Arga seolah ingin menguliknya dalam-dalam. Tidak... tatapan pria itu seperti mengatainya terang-terangan. Namun, Angreni sudah terbiasa mendapat tatapan seperti itu. Level mahasiswa yang pernah ditangisi dosen adalah mahasiswa yang tidak takut pada apa pun, bahkan kecoa terbang sekali pun.

"Pak..."

"Angreni, fokus," potong Pak Panji dengan nada datarnya, membuat Angreni menghembuskan napasnya jengkel. Angreni bahkan belum berucap sepatah kata, tetapi ia sudah dipotong dengan sebegitu kejamnya.

"Baik, Pak."

"Kamu nggak cocok skripsi. Kamu HARUS tugas akhir," ucap Pak Panji dengan penuh penekanan, membuat Angreni mengerutkan keningnya tidak terima. "Saya akan tutup semua slot skripsi kamu."

"Sejak kapan bisa gitu, Pak?" balas Angreni tidak terima. Bahkan dekannya saja tidak punya sihir seperti itu.

"Sejak mahasiswa langka seperti kamu hidup. Sesuatu yang langka butuh penanganan yang langka juga," balas Pak Arga membuat Angreni ingin menjawab, tetapi ia langsung dibungkam dengan tatapan tajam pria itu. Ucapan Pak Arga seolah memberikan kesan jika ia adalah margasatwa di kebun binatang.

"Karya kamu yang dibeli oleh Museum Macan sangat bagus, Angreni. Kalau kamu bisa menghasilkannya sekali, kamu pasti bisa melakukannya dua kali," ucap Pak Arga dengan penuh percaya diri, seolah pria itu yang melukis barang sampah itu. Wajah Angreni yang awalnya rileks, perlahan berubah menjadi serius. Angreni mengalihkan pandangannya ke arah lain, tampak bosan dengan bimbingan kali ini.

"Saya artblock, Pak," jawab Angreni dengan wajah sedihnya.

"Itu mitos," balas Pak Arga meremehkan ucapan Angreni.

"Lagian itu cuma lukisan laut doang, Pak," balas Angreni dengan nadanya yang malas.

"Tapi lukisan itu maknanya dalam sekali loh. Kamu melukis laut dengan ombak yang tinggi. Dan banyak kritikus yang sempat melihat kilasan manusia dalam ombak tinggi itu," ucap Pak Arga dengan nadanya yang meyakinkan. "Semua hal yang misterius adalah karya terbaik."

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang