Dengan kemeja kotak-kotanya dan celana jins gombornya, Angreni menunggu di depan gerbang kayu dengan tanaman merambat yang menjalar di atasnya. Di tubuhnya sudah tersampir tas kain hitam yang berisi alat lukisnya. Tak lama kemudian, pintu gerbang itu membuka menampilkan halaman yang luas dengan rumput hijau, gazebo di kanan dan kolam ikan di tengahnya. Rumah itu bergaya kolonial Belanda dengan aksen lampu jawa dan juga furnitur dengan ukiran khas Jepara. Angreni masuk ke dalam rumah itu dengan tatapan terpukaunya. Ia diantar oleh seorang perempuan paruh baya yang memakai kebaya bermotif floral dan jarik.
"Nama saya Siti. Panggil Mbok Siti aja ndak papa," gumam Mbok Siti dengan senyuman ramahnya. "Tamunya, Mas Panji ya?"
"Nggih, Mbok," ucap Angreni dengan bahas jawanya yang kaku. Angreni melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah itu. Awalnya, Angreni mengira rumah itu akan dipenuhi perabot dan juga lukisan-lukisan kuno, tetapi ia salah besar. Rumah itu kosong, bahkan ruang tamunya hanya tersedia sofa kayu dan meja pendek yang sama. Tidak ada TV, atau pun jejak peradaban manusia di dalamnya. Rumah itu dipenuhi rak buku yang tinggi dengan buku-buku berjejer dan bahkan ada yang sampai kertasnya menguning. Wangi buku menguning tercium dengan jelas di ruang tamu itu. Mbok Siti berbelok ke arah sebuah ruangan yang benar-benar kosong dengan jendela kayu besar yang terbuka menampilkan pemandangan taman. Di tengah ruangan sudah berdiri lukisannya dengan meja pendek di sebelahnya dan kursi di hadapannya.
"Pak Panji-nya kemana, Mbok?" tanya Angreni kebingungan.
"Mas Panji sedang keluar, Nduk. Biasanya baru kembali saat sore," gumam Mbok Siti dengan senyuman hangatnya. "Pesan dari Mas Panji hanya diminta untuk menyelesaikan lukisannya."
Angreni hanya mengangguk, menanggapi ucapan Mbok Siti. Tiba-tiba saja, Mbok Siti berjalan ke arah pintu yang berada di belakang spanram-nya. Pintu itu terkunci rapat dan seperti pintu itu terhubung ke ruangan lain. Di sebelah pintu itu sudah terdapat seperti kotak surat dan juga lubang memanjang yang tipis untuk memasukkan surat. Meja pendek beserta kertas dan pena tersedia di sampingnya, membuat Angreni mengerutkan kening tidak mengerti.
"Mas Panji jarang memegang ponselnya. Jadi, selama di rumah untuk menghubungi Mas Panji bisa berkirim surat," gumam Mbok Siti sambil menunjukkan tempat Angreni bisa menyalurkan suratnya. Sudah Angreni duga, Panji adalah pria tidak waras. Hanya orang gila yang berkirim surat di RUMAH.
"Nanti kalau sudah dimasukkan suratnya ke sini, bisa ditarik talinya supaya belnya bunyi dan Mas Panji bisa baca," ucap Mbok Siti memperagakan cara membunyikan bel. Dentingan bel lembut terdengar di ruangan itu.
"Kenapa nggak ketemu langsung aja, Mbok?" tanya Angreni kebingungan.
"Mas Panji sibuk, Nduk. Kalau ndak penting, dia ndak suka ngomong langsung," ucap Mbok Siti dengan senyuman masamnya. Saking anehnya Panji, Angreni sampai merasakan bulu kuduknya berdiri sebab ia takut jika semua ini adalah akal-akalan Panji untuk menjadikannya tumbal. Kekayaan seperti ini tentu tidak didapatkan cuma-cuma bukan.
Angreni menghembuskan napas jengkel dan hanya mengangguk menanggapi ucapan Mbok Siti. "Kalau butuh makan atau apa-apa bisa langsung panggil saya saja di ruang dapur," ucap Mbok Siti dengan senyuman hangatnya, sebelum keluar dari ruangan itu meninggalkan Angreni yang masih bingung harus merevisi apa tulisan ini.
***
Angreni benar-benar menganggur. Seharian tidak ada yang ia lakukan selain mengitari rumah, membaca salah satu buku di rak dan berbaring di lantai, mencari jawaban akan apa yang ingin direvisi oleh Panji. Angreni sebenarnya bisa memainkan ponselnya, tetapi saking nganggurnya ia bahkan sampai bosan dengan ponselnya sendiri. Panji sudah gila. Membayarnya sebesar itu hanya untuk membuatnya pengangguran seperti ini dengan brief yang tidak jelas.
Tiba-tiba saja, Angreni mendengar derap kaki pelan melintasi depan ruangannya. Ketika Angreni berlari keluar untuk menemui Panji, pria itu sudah lebih dulu masuk ke ruangan di sebelahnya. Angreni pun berlari ke arah pintu penghubung antara ruangannya dan Panji. Ia menggerakkan knop pintu tersebut dan menyadari jika benda itu terkunci. Dengan sopan dan lembut, ia mengetuk pintu itu.
"Pak..." ucap Angreni. "Saya ingin berbicara sebentar."
Tak lama Angreni menunggu, tiba-tiba saja bel di sebelahnya berbunyi dan sebuah surat meluncur dari lubang. Angreni meraih kertas itu dan membacanya.
Apa?
Dengan jengkelnya, Angreni kembali mengetuk pintu itu dan berucap, "Pak, ini nggak bisa dibicarakan lewat surat menyurat seperti ini."
Ting!
Bisa. Katakan.
Jambu... jambu... karma apa yang harus diterima Angreni hingga ia berhadapan dengan pria aneh seperti Panji. Lama-lama Angreni spill kelakukan aneh pria itu di twitter dengan tajuk 'gue ngetik ini sampai gemeteran'.
"Pak, revisinya apa?!" seru Angreni jengkel dari balik pintu.
Ting!
Selesaikan, Angreni, bukan revisi.
"Ya iya... makanya ayo berbicara secara langsung supaya saya paham. Saya nggak paham selesaikan apanya!" seru Angreni dengan nadanya yang naik satu oktaf.
Ting!
Apa saya membayar kamu untuk mengeluh?
Angreni memaki-maki dalam hatinya dan langsung meraih penanya dan menulis di kertas dengan huruf cakar ayamnya. Ia sangat jengkel akan sikap Panji yang sok misterius seperti ini. Pria itu sepertinya dukun yang melakukan pesugihan. Namun, aneh jika Panji dukun, mana setan peliharaannya. Dan terlebih suasana rumah itu terlalu tenang dan damai sebagai sarang dukun ilmu hitam.
Pak, setidaknya berikan saya petunjuk apa yang harus saya selesaikan. Angreni langsung memasukkan suratnya ke dalam lubang itu dan menarik talinya. Lama Angreni menunggu sampai akhirnya...
Ting!
Saya tidak bisa membaca tulisan kamu. Tulisan kamu terlalu jelek.
Angreni merasa jika seluruh dirinya panas karena dialiri amarah. Ingin sekali ia menggedor-gedor pintu itu, tetapi dengan kekuatan kesabarannya, ia menahannya. Angreni berhenti mengirimkan surat dan akhirnya kembali duduk di depan lukisannya sendiri. Ia menatap lukisan itu cukup lama, berusaha mencari letak kesalahannya. Sebenarnya... Angreni juga sejak awal merasa jika lukisan ini belum selesai, tetapi lukisan ini membangkitkan sesuatu yang sangat ia benci dan karena itulah Angreni meninggalkannya. Angreni menggoreskan catnya asal-asalan dan lagi-lagi ia bingung harus menambahkan apa.
"Saya akan selalu mencintai kamu, Diajeng"
Kalimat yang sering terbayang dalam benak Angreni. Entah dari siapa, tetapi Angreni mengingat suaranya dengan jelas. Dan kalimat itulah yang menjadi inspirasi akan lukisannya. Balada Segara.
TBC...
Apa kabar....
Seperti yang aku bilang sebelumnya novel ini akan slow pace, tidak seperti novelku lainnya yang sat set slebew parah. Dan novel ini juga sebenarnya jauh lebih rumit dari semua novelku sebelumnya. Karena ada fantasinya, jadi pembangunan karakter dan dunianya akan lebih lama, perlahan-lahan dan romansanya bukan yang gas dor seperti Pusaka Candra, tapi lebih ke interaksi mungil seperti tatapan.
Jadi yaaa ditunggu
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...