7. 1760

7.9K 1.2K 36
                                    

Kesultanan Nyayogyakarta Hadiningrat, 1760.

Aku melihat dari tirai sutra tersebut, Kangmas Sujana mengintip ke arah putri-putri yang sedang membersihkan diri di kolam bertabur wewangian. Arah matanya tak tertuju padaku, melainkan pada adik emasku, Bendara Mas Ayu Padmasari, garwa ampeyan yang baru. Aku menyadari jika sampai kapan pun aku takkan terpilih untuk naik ke peraduan Kangmas Sujana, karena luka di wajahku. Seorang abdi dalem estri tak sengaja menumpahkan air panas hingga sisi kanan pipiku memerah dan melepuh. Abdi dalemku mengatakan jika ini semua adalah rencana busuk dari patih di belakang selir-selir lain Kangmas Sujana, karena memang saat itu Kangmas Sujana sangat sering mengunjungiku. Mereka khawatir aku hamil lebih dulu daripada yang lain. Setelah kejadian itu, Kangmas Sujana tak lagi memanggilku, bahkan mengunjungiku. Aku hanyalah selir tersembunyi, bahkan jika dilemparkan ke perwira rendahan sekali pun, mereka takkan mau mengawiniku.

Beberapa kali, aku mengajukan untuk keluar dari keraton. Namun, permintaanku tak kunjung diloloskan karena Kangmas Sujana khawatir hubungan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kepatihan Ngawi akan kembali retak dan Rama akan melayangkan pemberontakan. Awalnya, aku sangat membenci diriku, hingga di satu titik aku nekat membunuh diriku sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin matang jiwaku, aku mulai menerima diriku perlahan-lahan. Menerima jika aku tidak akan lagi menghangatkan ranjang garwaku sendiri, Kangmas Sujana.

Benarlah dugaanku, bunga melati itu dilemparkan dari jendela peraduan dan mendarat tepat di atas kepala adik emasku. Adik emasku tampak sangat bahagia ketika mendapatkan bunga itu. Aku paham betul seperti apa perasaan adik emasku, sebab aku pernah di posisi itu. Rasa iri pastilah ada, tetapi aku juga ikut bahagia melihat senyuman lebar dari Bendara Mas Ayu Padmasari yang akhirnya memenuhi tugasnya untuk melayani Kangmas Sujana. Ketika Bendara Mas Ayu Padmasari akhirnya naik ke peraduan, garwa ampeyan lain pun juga beranjak dari kolam pualam itu dengan hati yang dongkol luar biasa karena tak terpilih. Tinggallah aku sendirian disitu, menenangkan diri dengan wewangian melati dan air yang segar.

"Bendara Ayu," ucap Yu Esti, abdi dalem setiaku. "... sebentar lagi hujan akan turun. Sebaiknya Bendara Ayu bersegera masuk."

Aku menghembuskan napas berat, kemudian mengangguk. Dengan dibantu Yu Esti, aku ditarik keluar dari kolam itu. Tubuhku dibalut dengan kain katun tebal yang menyerap seluruh air yang mengalir. Aku dibawa ke ruang peristirahatan keputren yang letaknya di belakang sendang permandian. Yu Esti terus mengekoriku dengan pandangannya yang waspada. Melihat kewaspadaan Yu Esti yang tak biasa, aku juga ikut mengamati lorong di sekitarku. Sebelah kanan lorong itu terdapat taman yang kemudian berhadapan dengan lorong lagi. Dari sebelah kanan aku juga bisa mendengar cakap-capa suara pria.

"Peristirahatan keputren ini akan dibangun lagi, Bendara Ayu. Dan beberapa pengrajin ruang akan mengunjungi permandian ini setelah garwa ampeyan selesai membersihkan diri. Mereka mengira garwa jika waktu bersih-bersih telah selesai hingga dengan beraninya datang," jelas Yu Esti sambil berbisik dengan nada paniknya. "Saya sudah memberitahukan bregada jika masih ada Ndoro Putri..."

Yu Esti langsung membungkam mulutnya rapat-rapat, sebab ia sepertinya salah bicara. Aku mengeratkan kain katun itu di tubuhku, lalu berucap, "Teruskan, Yu."

"Ndoro Putri sebaiknya segera..."

"Teruskan... Yu," ucapku menekankan ucapanku.

Yu Esti kembali gelisah dengan matanya yang berair. Ia meremas tangannya sendiri merasa sangat bersalah. Aku melihat gelagat Yu Esti dari sudut mataku dan menunggu wanita paruh baya itu menyelesaikan ucapannya. "Bregada kurang ajar itu mengatakan jika... jika... tak ada yang bergairah dengan seorang Ndoro Putri cacat. Karena itu, mereka tetap memberikan izin masuk pada pengrajin ruang."

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang