Angraeni berdiri tepat di depan tembok pembatas antara area Astana Mandala dan Pendopo Agung. Tembok itu masih tertutup dan dijaga ketat oleh Dwarapala yang kini tengah melirik ke arahnya. Di sampingnya, Hanoman juga ikut berdiri dengan wajah bingung. Angraeni sendiri tidak mengerti mengapa Yu Siti tiba-tiba memintanya untuk datang ke gerbang pembatas. Kata Yu Siti, semua ini adalah perintah dari sang raden. Tidak biasanya, Raden Panji memintanya berkunjung ke tempat terlarang seperti ini. Biasanya, pria itu hanya akan sebatas memanggilnya ke sendang dan kediaman pribadi pria itu.
"Ah inikah monyet pengkhianat itu," tanya Dwarapala yang berjaga di sebelah kiri.
"Kera!" seru Hanoman jengkel.
"Kukira dia sudah menjadi setan peliharaan dukun lain?" balas Dwarapala yang berada di kanan.
"Raden masih membutuhkan dia untuk..."
"Saya tidak tahu penjaga boleh berbicara sembarangan," potong Hanoman dengan wajah paniknya sambil melirik ke arah Angraeni. Angraeni sendiri hanya menaikkan sebelah alisnya pada dua Dwarapala yang sejak tadi menggunjingkan Hanoman. Dan sepertinya siluman kera itu tersinggung dengan semua gosip frontal yang dilempar ke wajahnya.
Sebelum perbincangan itu menjawab pertanyaan dalam benak Angraeni, tiba-tiba saja jalinan akar merambat pada tembok tinggi itu dan perlahan turun, memunculkan pintu gebyok berukiran rumit. Pintu itu dibuka, menampilkan figur jakung familiar yang telah menunggunya. Angraeni mendongak dan tatapannya bertemu dengan pandangan setenang air oleh Panji.
"Apa ada yang bisa Angraeni bantu, Mas?" tanya Angraeni dengan raut kebingungannya.
Panji memiringkan kepalanya seolah menimbang, sebelum melangkah melewati pintu gebyok itu dan menghampiri Angraeni. Figur Panji tampak menawan dalam blangkon batik dan balutan ageman rapi yang memeluk pas tubuh sehat dan kuat pria itu. Panji mengaitkan kedua tangannya di belakang tubuh, menguarkan aura dominan dan berkuasa. Angraeni mengerjap, menunggu balasan sang raden. Mata Panji terpaku pada kedua netranya, sebelum perlahan turun ke arah bibirnya.
"Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, Diajeng," gumam Panji dengan nada pelannya.
Angraeni mengerutkan keningnya bertanya. Siapakah gerangan yang ingin bertemu dengannya di Astana Mandala ini? Angraeni tidak langsung menebak Rama, sebab ia sendiri sadar diri jika ia belum melakukan kewajibannya untuk mendapatkan imbalan itu. Pikiran Angraeni berkelana hingga berlabuh pada wanita tua yang ia temui di sawah itu. Realisasinya disadari oleh sang raden. Ujung bibir pria itu naik, menciptakan senyuman tipis yang merayu.
"Aneh, Diajeng tidak memeluk Mas seperti yang Diajeng lakukan terakhir kali," goda Panji sambil mengulurkan tangannya dan kembali mencuri salah satu bunga kamboja di rambut Angraeni.
Melihat sang raden kembali mencuri bunga di rambutnya, Angraeni dengan sigap langsung menangkap tangan pria itu. "Mengapa Mas senang mencuri bunga Angraeni?" tanya Angraeni kebingungan. Ia tidak marah, tetapi ia sungguh penasaran dan terkadang curiga. Apa pria itu menyantetnya melalui bunga-bunga yang dicuri itu?
"Karena Diajeng selalu menghindari Mas," jawab Panji singkat, padat dan tenang. Angraeni refleks terdiam dengan matanya yang melebar dan pipi yang bersemu. Panji menyelipkan bunga kamboja itu di tangan Angraeni dan menuntun perempuan itu untuk memasangnya di saku ageman rapi yang ia pakai. "Anggap saja sebagai pereda rindu, Kasihku."
Angraeni buru-buru menarik kembali tangannya dengan telinganya yang sudah semerah tomat. Ketika ia menoleh pada Hanoman, kera itu tampak syok melihat sisi baru dari seorang Raden Panji. Anehnya, monyet itu juga ikut bersemu. Ketika dipergoki oleh Angraeni, Hanoman buru-buru membuang wajah ke arah Dwarapala. Dan begitu juga Dwarapala yang ikut membuang wajah ke arah lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...