39. MENERIMA

8.5K 1.1K 146
                                    

Hujan telah sepenuhnya berhenti, meninggalkan wangi tanah yang begitu familiar. Setelah menyelesaikan makan siang dalam keheningan, Panji dan Angraeni pun pamit pada Mbah Surjan. Panji juga telah memasakkan makan malam untuk perempuan tua itu, sebagai bentuk terima kasihnya, karena telah menjaga Angraeni.

Perjalanan pulang keduanya lebih menantang daripada perjalanan pergi, karena tanah yang becek dan kabut telah sepenuhnya turun. Angraeni yang tidak lagi menyamar menjadi lelaki, harus kesusahan melangkah dan bergerak dalam balutan kebaya dan jarik feminin itu. Meskipun perjalanan keduanya hening, tetapi Angraeni bisa merasakan jika Panji sangat memperhatikannya. Pria itu sengaja berjalan lebih lambat dan ketika ada tanjakan, Panji akan memeluk pinggang Angraeni dan membantunya. Semua kontak fisik itu dilakukan dalam keheningan.

Entah mengapa, Angraeni merasa sangat gelisah, seolah ada sesuatu yang belum tuntas dalam dirinya. Ketika Panji menyentuhnya, yang ada dalam otak Angraeni hanyalah keinginan yang begitu besar untuk dipeluk, dirayu dan dimanjakan. Namun, Angraeni terus menerus meredam pemikiran mesum dan tak senonoh itu. Ia merasa seperti hewan betina liar yang tak berbudi. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya jika Raden Panji bukanlah tipenya. Tidak seharusnya ia terbawa perasaan pada pria kejam itu. Pastilah ini hanyalah baper biasa, seperti perempuan seusianya.

Tanpa Angraeni ketahui, Raden Panji sejak tadi menikmati aroma yang begitu kuat menguar dari tubuhnya. Aroma sedap malam yang feminin dan terasa begitu manis. Aroma itu semakin kental dan pekat setelah Raden Panji menghentikan kegiatan mesra mereka. Seulas senyum tipis muncul di wajahnya. Perempuan itu menginginkannya. Hanya tinggal menunggu waktu, Angraeni sendiri yang akan merangkak padanya dan memohon untuk disentuh, dipeluk dan dimesrai. Panji bukanlah pria yang senang memaksa perempuan untuk berhubungan dengannya. Ia merasa seperti pengecut. Ia lebih senang jika perempuan tersebut yang datang padanya dan menyerahkan diri secara sukarela. Bisa dibilang, Panji sengaja mundur sepuluh langkah, untuk melompat hingga ke garis akhir.

Garin masih tidak meninggalkan keduanya. Macan hitam dalam rupa kucing itu berjalan di belakang Angraeni sebagai penjaga. Terkadang, kucing itu juga berjalan di sisinya dan mendengkur galak. 

"Kamu kedinginan?" tanya Panji memecah keheningan diantara keduanya. Pria itu tidak menoleh sama sekali dan tetap melanjutkan langkah pelannya.

"Ndak, saya ndak papa, Raden," ucap Angraeni jujur sambil menundukkan kepalanya. Sepanjang perjalanan mereka kembali ke Astana Mandala, mereka akan berpapasan dengan nenek dan kakek tua yang berpakaian seperti penduduk desa. Namun, nenek dan kakek tua itu tampak mengenal sang raden, sebab mereka menunduk dan memberi salam. Raden Panji hanya akan mengangguk singkat sebagai balasan. Tentu saja, pemandangan itu menggelitik rasa penasaran Angraeni.

"Mereka... siapa?"

"Penjaga para pendaki," jawab sang raden sambil mengaitkan kedua tangannya di belakang tubuhnya. "Mereka yang memperingatkan untuk selalu berlaku baik dan juga menjadi penunjuk arah pada pendaki yang tersesat."

"Mereka manusia atau..."

"Roh alam," sergah Panji, langsung mengkoreksi Angraeni. Keduanya kembali hening dan Angraeni tetap melanjutkan langkahnya yang mulai goyah. Kabut perlahan mulai terbuka, menampilkan langit sore oranye yang begitu cantik dengan berhiaskan rimbun dedaunan. Angraeni mendongak, menikmati semua keindahan alam yang melingkupinya. Setitik embun jatuh di pipinya, membuat Angraeni menyekanya dan mengamati bulir air jernih itu.

Jika Tuhan menciptakan perempuan ketika beliau sedang jatuh cinta, maka Tuhan menciptakan tanah Nusantara ketika beliau sedang bahagia.

"Kamu bahagia, Ni?" tanya Panji tiba-tiba, membuat Angraeni mendongak dan menatap punggung pria itu.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang