Setelah kejadian ia hampir disantet saat itu, dada Angreni sering sakit dan bahkan terdapat tanda kehitaman di dada kanannya, tepat di jantungnya berada. Namun, Angreni tidak pernah memberitahukannya pada siapa pun, bahkan teman setannya sekali pun. Angreni sedih harus berpisah dengan teman setannya yang receh itu, sebab meskipun berbeda dimensi, mereka sangat perhatian pada Angreni. Perpisahan terakhirnya dengan teman setannya hanyalah ia mentraktir mereka dengan kue buatannya.
Angreni tidak pernah menduga ia akan kembali ke tempat ini lagi. Bantul selalu menjadi misteri untuknya, tetapi juga tempat yang paling banyak menyimpan kenangan indah bersama Rama. Rama selalu mengajaknya ke Parangkusumo untuk berlibur dan setiap kali berlibur itu juga, Angreni akan diajari Rama untuk memperdalam laku batin. Kota ini menjadi saksi akan keanehan yang sampai saat ini tidak bisa dijelaskan Angreni. Angreni berdiri di serambi kayu dengan arsitektur Jawa yang kental. Dari serambi kayu itu ia bisa melihat laut Parangkusumo dari kejauhan, bahkan ia bisa menghidu samar-samar wangi air asin.
"Kamu akan terus berdiam disitu?"
Balasan dingin yang setengah menyindir itu membuat Angreni tersadar dari lamunannya. Ia membalikkan tubuhnya dengan wajah dongkolnya sambil naik ke atas rumah utama. Bangunan bergaya Jawa itu adalah penginapan yang dipilih oleh Panji. Sungguh, bangunan itu membangkitkan memori masa kecilnya ketika menjadi bagian dari kerabat keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Atap kayu tinggi dengan lampu gantung berukir serta perabot jati dengan ukiran khas Jepara. Patung Dwarapala berdiri di kiri dan kanan pintu masuk, seolah menjadi penjaga yang tak kasat mata. Wangi kembang yang berpadu dengan wangi masakan tercium dengan jelas membuat Angreni sangat merindukan Rama dan Eyang Putri.
Mungkin bagi orang awam, rumah ini terkesan seperti awal dari perjalanan horor yang mengerikan, sebab banyak yang tidak terbiasa dengan suasana Jawa yang kental. Namun, sebagai seorang indigo, Angreni tidak merasakan energi negatif dari bangunan itu. Bangunan itu malah memberi perasaan damai, tenang dan nyaman. Penunggu yang ada di situ pun juga sama ramahnya seperti sang pemilik penginapan yang menyapa mereka.
"Mas Panji!" seru seorang ibu paruh baya itu sambil memeluk Panji dengan erat. Panji menyunggingkan senyum yang membuat Angreni melongo. Angreni mengira otot senyum pria itu putus, tetapi nyatanya ia salah. Panji balas memeluk wanita paruh baya itu dengan sama hangatnya. "Dah lama sekali ndak berkunjung, ngapa toh?"
"Banyak yang harus diurus," jawab Panji dengan senyuman hangatnya.
"Alasanmu itu-itu saja. Dari tahun 90 awal sampai sekarang, pasti ada saja yang harus diurus," balas ibu penginapan itu sambil memukul pundak Panji, sebelum tatapannya berlabuh pada Angreni. Ia menatap Angreni cukup lama, sebelum senyuman hangat tersungging di wajahnya. Ibu penginapan itu menjulurkan tangannya yang disambut Angreni dengan sama hangatnya.
"Angreni, Bu," ucap Angreni sopan.
"Howala, Angreni ngiki toh?" ucap ibu-ibu itu sambil menatap Panji dengan tatapan berbinar. Panji hanya mengangguk singkat dengan senyumnya yang tidak pudar. Angreni hanya bisa tertawa canggung, sebab ia tidak mengerti percakapan keduanya yang terkesan sangat misterius.
"Wes ayune," ucap ibu-ibu itu sambil memukul punggung Angreni cukup kuat membuat tubuhnya sedikit terhentak-hentak ke depan. Angreni lagi-lagi hanya tertawa seadanya sambil melirik Panji, meminta penjelasan tak kasat mata. "Panggil Bu Kasem saja. Sini, sini... saya tunjukkan kamarnya."
Bu Kasem dengan bersemangat berjalan masuk ke dalam tirai yang berada tepat di samping meja resepsionis sederhana. Panji menggerakkan tangannya seolah mempersilahkan Angreni berjalan duluan. Tanpa berbasa-basi, Angreni langsung mengikuti Bu Kasem. Ketika berjalan melewati Panji, Angreni bisa merasakan jika tangan Panji yang lain seolah merangkul punggungnya, tetapi tidak sampai menyentuhnya. Refleks, ia menoleh dan matanya langsung bertemu dengan Panji yang menatapnya dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...