Panji menatap pemandangan taman dari bingkai jendela kayu dalam keheningan yang pekat. Panji adalah perwujudan sesungguhnya dari sunyi, sepi dan hening. Setiap gerak-geriknya sangat tertata dan teratur. Tarikan dan hembusan napasnya pun memiliki ketukan sendiri seperti halnya detak jantung. Figurnya tak lagi terasa manusiawi dan semua orang di sekitarnya mengakui itu. Kehidupannya yang lama dan panjang membuat Panji lupa seperti apa rasanya menjadi manusia biasa. Terkadang, ia merindukan emosi dan perasaan rapuh yang sering dirasakan oleh manusia normal pada umumnya. Kini, Panji tidak merasakan apa-apa. Emosinya seolah mati. Ia tidak tertarik atau merasa panik pada apa pun. Tak peduli seberapa genting situasi sekarang untuknya, apalagi ketika Panji menyadari jika instingnya semakin liar dan kejam seperti halnya genderuwo yang ia pelihara. Insting penuh dosa yang sangat berlawanan dengan nuraninya; gairah dan haus akan darah.
Bunyi derit pintu kayu membuat Panji menoleh, sebab sejak tadi ia memang menunggu kehadiran Angreni. Namun, matanya malah bertemu dengan sorot tajam Nyai Segara. Panji mengalihkan fokusnya pada gelas distilasi yang sedang dipanaskan. Nyai Segara memiringkan kepalanya, seolah menemukan sesuatu yang janggal dari Panji.
"Menunggu seseorang rupanya," simpul Nyai Segara, bahkan tanpa perlu repot bertanya. Tubuh ringkihnya berjalan dengan langkah yang lemah ke arah kursi kayu, tempat Panji sering menghabiskan waktu untuk menulis. Rumah joglo itu merupakan kawasan paling luas di kompleks Astana Mandala dan juga menjadi salah satu tempat favorit Panji. Sederet rak kayu tinggi membentuk lorong, berisi buku, perkamen lontar hingga surat berjajar rapi di sana. Bagian depan dekat meja merupakan area Panji untuk meramu herbal dan obat-obatan.
"Apa gadis itu yang Anda tunggu, Raden?" ucap Nyai Segara sambil mengamati Panji dengan tatapan tertariknya.
Panji tetap meneruskan racikan ramuannya untuk luka Angreni, sambil menjawab, "Benar, Nyai."
"Tak peduli seberapa lelah pun kamu padanya, tampaknya kamu masih tidak bisa melupakannya," ujar Nyai Segara sambil meletakkan tongkat kayunya ke kursi panjang berukir itu. "Apakah kamu mendapatkan pencerahan setelah bertemu Lingga?"
"Ya," jawab Panji singkat.
Panji yang lugas, tegas dan menjawab seadanya terkadang membuat karakternya sulit dibaca. Bahkan orang-orang yang selalu berada di sekitar pria itu saja masih tidak dapat menebak apa rencana pria itu selanjutnya. Membawa Angreni ke Astana Mandala saja merupakan rencana yang sangat gila dan tidak terduga. Dan tentu saja sudah menentang hukum Alam Semesta, sebab Angreni hanyalah manusia biasa. Jika fisik dan mentalnya tidak kuat, Angreni bisa berakhir mati ataupun gila.
Panji bisa mendengar langkah pelan ke arahnya. Yang awalnya terseret-seret seperti langkah orang tua, tiba-tiba saja berubah menjadi langkah yang lebih stabil dan tegas. Telapak tangan feminin mencengkeram lembut pundak lebarnya, sebelum turun ke otot lengan atasnya yang kuat. Panji melirik sedikit dan menyadari Nyai Segara kembali menggodanya. Wanita tua itu telah bermanifestasi menjadi seorang perempuan muda yang sangat cantik dan menggoda dalam kebaya hitamnya dan jarik cokelatnya. Tubuhnya merupakan idaman setiap wanita dan godaan terbesar setiap pria di tanah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...