Dengan kebaya Kartini berwarna hijau, jarik cokelat dan rambut yang disanggul sederhana, Angreni berjalan mengikuti Panji dari kejauhan. Angreni memiliki firasat yang kuat jika malam ini ia bisa menemukan sedikit penjelasan mengapa Panji sangat menginginkannya ke Lawu. Tak jauh darinya, Mongki -monyet yang Angreni tetapkan untuk ia pelihara, juga mengikutinya sambil sesekali menunggu aba-aba dari Angreni. Setiap kali Panji berhenti, Angreni juga ikut berhenti dan refleks bersembunyi ke tempat yang tidak terkena cahaya lampu. Pria itu terus berjalan hingga akhirnya sampai di pinggir pantai Parangkusuma. Angreni mengira Panji akan berhenti, tetapi nyatanya pria itu meneruskan langkahnya hingga ke pertapaan Panembahan Senopati untuk Gusti Kanjeng Ratu Kidul. Panji melepaskan sandalnya dan melangkah masuk, membiarkan pasir Parangkusuma mengotori telapak kakinya.
Angreni mengamati dari balik gerbang bagaimana Panji berdiri dalam muramnya malam. Pria itu mengatupkan tangannya depan hidung dan membungkuk, seolah memberi salam. Setelahnya, Panji berlutut kemudian duduk bersila dengan postur tegap dan kedua tangan di atas paha. Napas pria itu tenang dan terkendali. Angreni mengamati pria itu lamat-lamat, berharap Panji akan berceloteh sendiri seperti halnya dukun sakti yang ia temui di televisi. Namun, pria itu tetap hening dan tidak bergerak sama sekali. Angreni mulai menyadari jika aksi nekatnya ini tidak membuahkan apa-apa. Karena itu, ia berencana untuk pulang ke penginapan. Baru saja ia melangkah, tiba-tiba saja sebuah suara menghentikannya.
"Terlalu dini untuk pulang, Ni," ucap Panji membuat bulu roma Angreni berdiri tegak. Pria itu sadar akan kehadirannya sedari tadi.
"Kemari," panggil Panji dengan nadanya yang pelan dan menghanyutkan. Angreni bimbang, sebab ia takut sekali jika Panji akan menumbalkannya malam ini. Namun, lagi-lagi, ia tidak merasakan aura negatif yang kuat dari tempat itu. "Ni..." panggil Panji lagi, dengan nadanya yang yang terdengar seperti membujuk dibalik dinginnya suara pria itu.
Seolah disihir, Angreni pun menuruti Panji. Ia melepaskan kasutnya, kemudian melangkah mendekati pria itu. Panji membuka matanya perlahan dan menoleh ke arah Angreni yang kini sudah berada di sebelahnya. Panji mengulurkan sebelah tangannya, seolah menunggu untuk digenggam. Meskipun bingung, Angreni mengikuti instingnya untuk menerima uluran tangan Panji. Panji merapatkan jemari mereka dan langsung menarik Angreni hingga kini perempuan itu jatuh terduduk di tengah pangkuannya.
Angreni melebarkan matanya dengan perasaan syok sekaligus malu memenuhi dadanya. Punggungnya kini menempel erat dengan dada tegap Panji dan ia bisa merasakan napas teratur pria itu di puncak kepalanya. Panji menuntun tangan Angreni untuk mengatup di depan dada perempuan itu. Setelahnya, dengan gerakan lembut dan perlahan, Panji ikut melingkupi tangan Angreni dengan pose yang sama. Angreni bisa merasakan jika jantungnya seperti akan terlepas dari dadanya, sebab ia bisa merasakan dengan jelas kehangatan tubuh seorang pria dewasa yang kini secara tidak langsung tengah memeluknya. Tangan Panji yang jauh lebih besar darinya terasa begitu kokoh dan jantan, berbanding terbalik dengan jemarinya yang mungil dan feminin.
Keduanya seperti perwujudan nyata dari karakter laki-laki dan perempuan. Keagungan maskulin yang klasik dan tradisional menguar dari figur Panji baik dari sifat maupun fisiknya. Karakteristik itu bersanding harmonis dengan segala femininitas yang dimiliki Angreni, baik dari tubuhnya yang mungil dan lembut maupun dari sifatnya. Hanya saja, sisi feminin yang dimiliki Angreni saat ini masih muda dan hijau, membutuhkan waktu dan pelajaran hingga ia bisa memeluk kekuatannya sebagai perempuan.
"Jantung kamu berdegup kencang. Ada apa?" tanya Panji dengan nada tenangnya, di saat Angreni merasa sangat gelisah, sekaligus cemas.
"Kenapa..." Angreni berdeham dengan pipinya yang sudah memerah hingga ke telinganya. "... harus di pangkuan Bapak? Saya bisa bermeditasi di samping Bapak."
Panji menunduk dan menyadari perempuan itu tampak sangat tegang dalam pelukannya. Angreni bahkan berusaha sekeras mungkin untuk tidak bersandar di dadanya. "Apa yang kamu pikirkan, Angreni?" tanya Panji membuat Angreni benar-benar ingin menenggelamkan dirinya di pasir Parangkusuma sekarang. Merasa diperhatikan, Angreni menaikkan tatapannya hingga matanya bertemu dengan manik cokelat Panji. Meskipun dalam keremangan malam, Angreni tetap bisa menangkap tatapan dalam pria itu. Bukannya meredakan situasi, Angreni malah semakin malu, hingga seluruh tubuhnya kali ini juga ikut memanas.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...