36. DESA

7.2K 1K 101
                                    

Angraeni terus mengekori Raden Panji kemana pun langkah pria itu. Ketika mereka melewati gerbang Dwarapala yang besar, Angraeni bisa merasakan sepasang mata merah raksasa itu mengekori keduanya. Kedua patung itu menunduk, seolah memberi salam pada Angraeni dan juga Raden Panji. Sang raden hanya menggerakkan tangannya sekilas sebagai balasan untuk sapaan yang patuh dan mengerikan itu. Saking takutnya Angraeni pada Dwarapala raksasa itu, ia sampai berlari mengejar sang raden, takut ditinggal.

"Mereka tidak akan memakan kamu, Angraeni, kecuali kamu melanggar peraturan," ucap Raden Panji seolah mengetahui kegundahan Angraeni. Keduanya melangkah di tanah lapang yang dipenuhi candi-candi kuno tempat menaruh persembahan. Tanah lapang itu berakhir dengan sebuah gapura bata merah yang biasa ia temui di kawasan candi maupun pura Bali. Di balik gapura itu, jalanan ramai dengan berbagai macam bentuk mahkluk yang menyeramkan. Meskipun tak semua yang berkeliaran di Astana Mandala adalah setan, tetapi tempat itu mayoritas dihuni mereka yang sudah menjadi jiwa penasaran. Malam di Astana Mandala cukup berbeda dengan malam di dunia manusia. Malam di tempat Astana Mandala sangatlah pekat dan gelap. Tidak ada bintang maupun bulan sama sekali. Langit ditutupi kabut tebal dan awan yang hitam pekat. Satu-satunya penerangan di kota astral itu hanyalah berasal dari lentera malam yang terpasang di rumah demi rumah joglo.

Meskipun malam, tetapi jalanan itu masih ramai. Namun, kebanyakan yang berkeliaran adalah spesies setan, sebab para dukun sedang menunaikan aktivitas "biasa" mereka sebagai seorang manusia. Angraeni mengedarkan pandangannya seperti orang linglung, mengamati satu per satu bentuk setan yang baru ia temui. Ada yang bentuknya tinggi, besar, kurus, berambut panjang dan berlidah panjang. Ada pun yang bentuknya menyerupai ular berkepala manusia. Angraeni terpukau melihat ragam bentuk setan di Astana Mandala. Informasi ensikopledia setannya kini semakin bertambah.

"Siapa yang mendiami rumah-rumah joglo ini?" tanya Angraeni penasaran sambil mengekori Raden Panji yang membelah kerumunan setan.

"Pedagang pasar gaib," jawab Panji seadanya.

"Apakah mereka manusia atau...?"

"Mereka adalah roh alam, seperti entitas Nyai Segara. Dapat menyerupai apa pun sesuai keinginan mereka." Panji dengan sabar menjelaskan segala sesuatu mengenai dimensi astral yang mungkin menjadi hal asing bagi Angraeni.

"Apa yang sebenarnya dijual di pasar gaib? Terus, bayarnya pakai apa?" tanya Angraeni lagi dengan nadanya yang seperti anak kecil.

"Yang dijual di pasar gaib adalah setan-setan peliharaan, mustika sakti, keris, atau juga terkadang khodam. Dan pembayarannya sangat mudah. Kamu hanya perlu menuruti keinginan roh alam tersebut. Kadang mereka meminta jabang bayi, darah menstruasi pertama seorang perawan, kepala kerbau atau beberapa permintaan lazim lainnya," jelas Panji dengan nada ringannya di saat bulu roma Angraeni berdiri tegak. Sialan, sejak kapan permintaan mengerikan seperti itu adalah permintaan yang mudah?

"Apa yang mereka lakukan dengan semua persembahan itu, Raden?"

"Semua persembahan itu sebenarnya hanyalah simbol, Diajeng. Yang mereka inginkan sebenarnya adalah jiwa dukun yang bertransaksi dengan mereka. Sekali kesepakatan tercapai, maka dukun itu akan terikat selamanya pada mereka. Ketika dukun itu meninggal nantinya, maka jiwa mereka akan menjadi setan peliharaan yang sakti, beringas dan kuat. Dan tentunya berharga mahal."

Sang raden tiba-tiba saja menggerakkan tangannya untuk memanggil kereta kuda yang memang dikhususkan untuk penumpang manusia. Kereta kuda itu seperti delman pada umumnya, tetapi tanpa atap dan ditarik oleh... siluman kuda? Begitukah? Angraeni yakin sekali kuda yang digunakan bukanlah hewan asli, sebab kepalanya saja bercabang dua dan lidahnya panjang. Di kala Angraeni sibuk melakukan observasi sepihak pada kuda aneh itu, sang raden tiba-tiba saja memeluk pinggangnya dan menaikkannya dengan mudah ke atas kompartemen kereta. Setelah Angraeni aman di atas kereta itu, barulah Panji melompat ke atasnya dengan mudah. Panji duduk tepat di sebelah Angraeni dan mengamati perempuan itu.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang