(Kurang lebih kamar Angreni seperti ini tetapi lebih kosong. Hanya ada satu ranjang berkelambu di tengah, kursi panjang kayu di bawah jendela dan satu meja serta kursi rias.)
Angreni mencengkeram pinggiran ranjang kayunya sambil mengerang. Luka hitam di punggungnya kembali kumat dan terasa begitu perih dan nyeri. Angreni merasa luka itu semakin melebar dan sebentar lagi sepertinya akan menggerogoti hingga ke organ dalamnya. Air mata jatuh di pipi Angreni. Ia datang ke sini untuk bertemu Rama. Dan Angreni tidak akan membiarkan dirinya mati konyol seperti ini. Setidaknya ia harus melihat Rama dan setelahnya biarkan Tuhan sendiri yang menentukan ajalnya. Angreni yakin sekali ini bukanlah waktunya untuk mati dan ia sendiri juga tidak akan membiarkan dirinya mati sekarang.
Pintu berderit disertai derap kaki lugas ke arahnya. Jubah katun tembus pandang Angreni sudah jatuh hingga ke sikutnya, menampilkan tubuhnya yang hanya dibalut kemben dan jarik. Seluruh rambutnya dikumpulkan di satu sisi hingga luka hitam tersebut terlihat jelas, bahkan tanpa harus melepaskan kemben. Tangan yang kuat dan besar mencengkeram pinggangnya dan dengan mudah menaikkannya ke atas ranjang. Angreni tidak ditidurkan, melainkan ia tetap dalam posisi duduk dengan tangan yang menumpu tubuhnya. Mata Angreni yang sayu bertemu dengan tatapan tanpa ekspresi dari Panji. Ketika Panji ingin beranjak dari kasur itu, Angreni langsung menahan sikut pria itu.
"Aku... aku belum ingin mati," ucap Angreni dengan air matanya yang turun menyedihkan. "Izinkan aku bertemu dengan Rama dan aku akan menerima kematian aku ini."
"Kamu memang tidak akan mati, Angreni. Tidak dalam pengawasan saya" balas Panji sambil menepis tangan Angreni yang ada di sikutnya, tetapi Angreni kembali menarik ageman hitamnya. Perempuan itu seolah mencegah Panji pergi.
Dengan lemah, Angreni menumpukan dahinya di dada Panji. Kedua tangannya perlahan-lahan naik ke lengan atas Panji dan mencengkeramnya. Isakan Angreni pun pecah. Ia menangis dengan begitu menyedihkan dan lemah di dada Panji. "Izinkan... saya bertemu dengan Rama, Raden," mohon Angreni dengan penuh ketulusan, bahkan sampai menyebutkan gelar pria itu. "Sekali saja..."
"Ketika kamu sehat..."
"Saya... saya tidak bisa mati konyol seperti ini tanpa bertemu Rama. Setidaknya... izinkan saya, Raden. Saya berjanji tidak akan pergi sebelum menuntaskan janji saya untuk menemukan atmanjiwa itu, tapi... tapi... izinkan saya sekali ini saja..." Tangisan Angreni begitu memilukan, membuat Panji menghembuskan napas pelannya. Panji menaikkan tatapannya hingga bertemu dengan Yu Siti yang juga ikut menangis. Sudah lama Panji tidak melihat perasaan ini.
Empati.
Sebuah emosi yang begitu nyata dan manusiawi. Meskipun sedikit, tetapi Panji seolah bisa merasakan keputusasaan yang dirasakan Angreni. Harapan yang besar, tetapi terhalang situasi yang tak memungkinkan memang selalu menjadi kesedihan yang tak dapat diungkapkan.
Panji memeluk pinggang Angreni dengan erat dan dengan kekuatannya ia mengangkat tubuh mungil perempuan itu duduk di atas pangkuannya. Ia bersandar di kepala ranjang dengan Angreni yang lemah bersandar di dadanya. Kepala Angreni tergolek lemah di pundaknya dengan napas perempuan itu yang berat. Ia melepaskan kemben Angreni hingga terlihatlah luka menghitam yang semakin melebar itu. Dada Angreni yang lembut menekan dadanya yang tegap dan keras. Panji mengusap pinggang telanjang Angreni dengan lembut, berusaha meredakan isakan sekaligus rasa sakit yang dialami. Ia mengangguk pada Yu Siti dan perempuan paruh baya itu langsung memahami perintah sang Raden.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...