Angreni berjalan ke cafe setannya di daerah Menteng dengan langkah santai. Meskipun gerak tubuhnya tenang, tetapi Angreni sebenarnya sangat waspada. Ia bisa merasakan seperti dirinya diikuti oleh seseorang - tidak, seekor mahkluk. Sebagai orang yang sensitif dengan hal supranatural, Angreni bisa membedakan seperti apa rasanya diikuti setan dan diikuti manusia. Kali ini, Angreni yakin sekali ia diikuti oleh setan. Namun, anehnya, setan itu tidak menampakkan dirinya sama sekali dan malah sembunyi-sembunyi. Berkali-kali Angreni mengedarkan pandangan, tetapi setan yang ia lihat hanyalah setan biasa seperti pocong, genderuwo dan semacamnya.
Angreni membuka pintu rumah Belanda itu dan masuk ke dalamnya. Ia mulai menyiapkan adonan untuk membuat kue kering sederhana sebagai menu untuk teman setannya. Namun, tiba-tiba saja pintu itu membuka sedikit dan muncullah Bang Kusno dengan seekor monyet putih dalam genggamannya. Monyet itu memakai perhiasan telinga emas dan sepertinya bukan sembarang mahkluk. Monyet putih tersebut erus memberontak, sampai akhirnya Bang Kusno menurunkannya dengan sedikit kasar di atas meja bar itu. Tak lama setelah Bang Kusno datang, Mbak Karina dan juga beberapa setan langganan lainnya mulai masuk.
"Ooooo mau kabur lo ya," ucap Mbak Karina sambil menggenggam tangan mungil monyet itu. Monyet itu terus berusaha kabur dan menggigit tangan Mbak Karina, tetapi sepertinya siluman itu lupa jika Mbak Karina adalah setan yang tidak bisa lagi merasakan sakit.
"Mahkluk ini terus mengikutimu sejak tadi, Ni," ucap Bang Kusno membuat Angreni langsung mengalihkan fokusnya dari adonan dan mengelap tangannya yang kotor di celemeknya.
"Kenapa lo ngikutin Angreni, Monyet!" tegas Mbak Karina pada monyet putih itu yang kini dikeliling setan berwujud seram lainnya, bahkan Mbak Suster Ngesot yang awalnya di lantai, bela-belain berusaha berdiri untuk melihat penguntit mesum kecil ini.
"Dia kan monyet, bagaimana bisa berbicara?" tanya Mbak Suster Ngesot itu dengan wajah bingung bodohnya.
"Bisa, Mbak. Dia ini tu setan peliharaan bukan freelance kayak kira-kita," ucap Mbak Karina jengkel sambil menjitak monyet putih yang terus menggigitnya itu.
"Saya nggak pengangguran tuh kayak kamu," balas Suster Ngesot itu dengan wajah jeleknya yang tidak terima. "Saya masih sering shift malam di RS sini."
Mbak Karina tampak malas menanggapi Suster Ngesot yang bodoh ini. Ya, dari semua setan di situ dengan beragam kepribadian dan bahasa, memang yang paling waras hanya Mbak Karina, sisanya setan patah hati, setan lupa diri dan setan yang kebanyakan kerja sampai mati seperti Mbak Suster Ngesot itu.
"Berbicaralah Wahai Mahkluk Peliharaan," ucap Bang Kusno dengan genggamannya yang menguat di leher monyet putih itu.
Monyet putih itu melihat Angreni sesaat, kemudian terdengar seperti berdeham, sebelum berucap, "Gugu gaga."
"Monyet zaman sekarang emang suaranya 'gugu gaga' gitu ya?" tanya Mbak Suster Ngesot dengan wajah bingungnya yang sesungguhnya. "Waktu saya mati tahun 2004... eh salah bukan 2004... 2005 deh... eh 2005 itu pemerintahannya Soeharto kan? Eh engga... gimana sih... aku mati tahun berapa sih?"
Inilah alasan mengapa ketika hidup kita tidak boleh bekerja sampai meninggal, sebab ketika bergentayangan bisa menjadi gagu dan bodoh seperti Mbak Suster Ngesot.
"Udahlah guys, dia tu cuma lapar aja," ucap Angreni sambil meminggirkan tangan Bang Kusno dari monyet putih itu. Ia mengusap bulu putihnya membuat mata monyet itu tampak berbinar memelas. Angreni yakin sekali jika monyet ini bukan peliharaan orang sembarangan, sebab sekelas siluman seperti ini menggunakan sumping emas dengan permata di telinga mungilnya. Monyet putih ini tentu warisan lelembut, atau bahkan peliharaan seorang orang sakti yang mendalami ilmu putih.
"Kamu kenapa di sini?" tanya Angreni dengan nada pelannya, tetapi sebenarnya ia juga curiga pada mahkluk ini. Monyet itu memeragakan gaya jika ia ingin makan sesuatu dan sejak tadi Mbak Karina terus menatap monyet itu dengan tidak senang dibalik rambut panjang yang menutupi wajahnya. Pocong patah hati yang sempat galau juga bahkan membungkuk dan mengendus-endus tubuh monyet itu.
"Mahkluk seperti dia tidak membutuhkan makanan seperti kita, Mbak. Dia ini sudah seperti harimaunya Prabu Siliwangi," ucap Mas P yang akhirnya waras setelah berhari-hari patah hati karena gadis UI yang takut melihatnya.
"Udah-udah," ucap Angreni sembari kembali meneruskan untuk membuat kue keringnya, sebelum akhirnya ia menoleh pada monyet putih itu dan memicingkan matanya. "Kalau lo ke sini dengan tujuan menutup tempat ini, gue yang akan nyeret lo dengan kedua tangan gue sendiri. Paham?" tegas Angreni membuat monyet itu menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Karena hari ini Mbak Suster Ngesot ulang tahun, bolehlah, Ni, kita semua dikasih makan gratis," ucap Mbak Karina sambil duduk di tempat biasanya dengan baju lusuhnya dan rambutnya yang masih belum disisir.
"Dia saja tidak mengingat kapan dia meninggal, apalagi hari lahirnya," jawab Mas P, menyangkal ucapan Mbak Karina, membuat mahkluk berbentuk permen itu langsung diterkam tatapan tajam dibalik surai panjang legam yang kusut itu.
"Eh jangan sembarangan kamu ya, Pocong! Saya ingat saya meninggalnya kapan, sekitar bulan... Februari ya? Eh... Maret? Tahun 2005? Eh bukan sih tahun 2003? Pemerintahannya SBY bukan sih itu? Eh bukan..."
Mas P menatap Mbak Karina dengan tatapannya yang seolah menunjukkan jika apa yang ia ucapkan terbukti bahkan belum lewat beberapa menit. Salah Mbak Karina menyeret si Mbak Suster Ngesot dalam rencananya untuk mendapatkan makanan gratis, sebab mahkluk itu saking burnout-nya sampai bodoh.
"Gue traktir kalian kalau sampai ada satu manusia yang bukan pemilik rumah ini menginjakkan kaki di sini," ucap Angreni mengeluarkan ultimatum yang membuat semua setan di situ berdecak kecewa.
"Sungguh itu adalah hal yang mustahil," ucap Mbak Kusno yang disertai hembusan napas berat dari Mas P dan Mbak Karina, sedangkan si Mbak Suster Ngesot masih menghitung kapan sebenarnya ia meninggal dan di zaman pemerintahan presiden siapa.
"Nggak adil dong, Ni. Masa gitu..." protes Mbak Karina sampai tiba-tiba saja pintu rumah yang tertutup rapat itu membuka lebar. Semua mahkluk di situ tidak mempedulikan pintu yang terbuka itu dan masih berdebat mengapa mereka harus mendapat makanan gratis dari Angreni hari itu.
"Kalian pikir beli bahan-bahan kayak gini bisa pakai daun?" geram Angreni sambil meremas-remas adonannya.
"Kita nyuri juga kasian, Ni. Kemarin aja ada ojol yang belum dapat pelanggan seharian, tapi harus kita manfaatkan karena kita juga ingin makan..." jelas Mbak Karina tidak terima.
"Kalau lo nggak bayar, gue bisa beli bahan gini dari mana. Pesugihan?" gumam Angreni dengan dengusan mengejeknya dan Mbak Karina sepertinya masih belum mau kalah. Keduanya berdebat hingga tidak menyadari jika semua setan di situ tiba-tiba saja menyingkir, bahkan sampai menempel di dinding kiri dan kanan ruangan luas itu.
"Angreni..."
"Kemarin ada yang cuma bayar seratus perak lo, Ni. Wah, lo nggak adil banget."
"Gue kasihan soalnya. Dia setan peliharaan baru..."
"Angreni..."
"Lo sekarang pilih kasih ya. Setan peliharaan lebih lo sayangi daripada setam freelance kayak kita."
"Lo jangan baper gitu dong, Mbak."
"Angreni..."
"APA?!" sentak Mbak Karina dan Angreni di saat yang bersamaan. Melihat sosok di sebelahnya, Mbak Karina dengan panik ikut bergabung menempel di dinding bersama setan yang lain.
Di sisi lain, Angreni mematung melihat mahkluk di depannya, hingga tanpa sadar ia menganga. Bagaimana bisa...
"Apa ada yang salah?" tanya pria itu dengan nada tegasnya. "Kamu seperti melihat hantu."
Demi apa pun, Angreni lebih memilih melihat hantu sekarang daripada seorang... manusia?! MANUSIA?! Bagaimana bisa pria ini masuk?! Sial? Apa yang.... siapa pria ini... bagaimana bisa dia menembus pagar gaib yang Angreni buat dan terlebih bagaimana bisa pria ini menyangka rumah ini ada orangnya, padahal tanah kuburan di halaman depan sudah tak terhitung banyaknya.
"Kamu melupakan saya lagi, Ni? Saya Panji," ucap pria itu sambil menyodorkan tangannya pada Angreni untuk digenggam. "Saya yang membeli lukisan kamu, Angreni."
TBC...
Apa kabar selamat menikmati
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...