꧒: BERBUDI BAWA LAKSANA

6.9K 1.1K 38
                                    

Berbudi Bawa Laksana berarti seorang pemimpin harus selalu melaksanakan setiap ucapan dan janjinya dengan penuh tanggung jawab dan konsekuen.

***

Mega Buana.

Tempat yang Panji ciptakan bagi orang-orang pinilih untuk bersatu dan mengumpulkan kekuatan mereka demi menjaga tanah Nusantara. Setiap abdi kinasih, para pujangga, kyai hingga raja termasyur tanah Jawa setidaknya pernah berdiam di tempat itu; menempa kekuatan mereka ataupun bermeditasi untuk meluruskan tujuan agar sesuai dengan sang nurani. Sejarah panjang Nusantara hingga menjadi Indonesia disimpan dengan sangat baik dalam dimensi Mega Buana. Raja demi raja yang disembunyikan dalam sejarah Indonesia pernah mengunjungi tempat itu. Sederet misteri akan dimensi dan portal waktu tersimpan rapat di sana.

Ketika Panji membangun tempat itu, ia tidak pernah memaksudkannya bagi sang pinilih yang luhur hatinya. Sebab, siapa kah manusia yang memiliki hati paling murni di tanah ini? Bahkan sang agung Hayam Wuruk atau bahkan ayahnya sendiri Maheswara Jayawardhana pun tidak. Ataukah sang pahlawan kemerdekaan seperti Bung Karno pun tak memiliki hati sebening yang direstui Sang Hyang.

Sejak awal, Mega Buana adalah bagi para orang-orang pinilih yang memang memiliki tujuan baik untuk tanah dan bangsa ini. Dahulu, orang pinilih yang karismatik dan sang tokoh pembangun bangsa setidak-tidaknya menguasai kesaktian Alam Semesta, yakni ilmu bhumi* dan ilmu tirta*. Namun, seiring berjalannya waktu, kesaktian itu kian menjadi mitos. Orang pinilih di zaman modern adalah mereka yang karismatik, bermental baja, serta cerdas, sebab saingan manusia modern bukanlah kesaktian, melainkan teknologi dan ancaman perbudakan tak langsung. Namun, Mega Buana tetap menyertai orang pinilih zaman modern dengan melindungi mereka serta memberikan tempat bermeditasi untuk meluruskan kembali wahyu para leluhur akan nasib tanah ini dengan visi yang mereka gaungkan.

Sungguh indah Mega Buana. Namun, yang pernah terlibat dalam tempat itu menyetujui satu kutukan yang sama, yakni...

Sebab mereka yang berkuasa dan bijaksana memang tak ditakdirkan untuk mencinta dan dicinta.

Dan Panji melanggarnya.

"Apakah engkau masih tidak mengerti, Panji?" tanya Eyang Merapi dengan suaranya yang tegas dan keras. Pengejewantahan roh penjaga Gunung Merapi diwujudkan dalam seorang kakek dalam ageman lurik dan jarik. Karakternya yang disiplin dan keras seperti Gunung Merapi itu sendiri tergambar dalam garis halus di ekspresi wajahnya.

Haruskah Panji bangga akan dirinya sendiri, sebab Eyang dari seluruh gunung Nusantara dan Ibu dari samudera kini berkumpul hanya untuk mengadilinya. "Jika perasaan yang saya rasakan adalah salah, maka tentu seharusnya Sang Hyang tidak mempertemukan saya dengan Angreni. Ini... adalah rencana-Nya. Siapa kah saya hingga bisa menghindari apa yang telah digariskan pada saya?"

Eyang dan Ibu menatapnya dengan tatapan sedih mereka. Inilah maksud dari ungkapan tadi. Cinta adalah hal yang membutakan dan jika dirasakan oleh sosok sekuat dan seberkuasa Panji, maka hal itu akan menjadi sesuatu yang sangat berbahaya. Kanjeng Ibu menghembuskan napas pelannya, sembari berucap, "Ini bukan mengenai salah atau tidaknya akan perasaanmu, Panji. Sadarkah engkau, jika engkau telah mengotori tanganmu dengan ratusan nyawa tak bersalah hanya untuk menemukan Angreni? Setiap hari, kami mendengar tangis dan ratapan yang tak bersalah. Tidakkah engkau iba, Panji?"

"Semua orang di Mega Buana ingin membunuhmu agar engkau tidak mengulangi kesalahanmu. Masih ada waktu untuk berhenti, Panji. Hentikan semua ini dan relakan, Angreni," imbuh Eyang Lawu yang ditanggapi anggukan dari seluruh roh alam disitu.

"Angreni telah dirampas dari saya," geram Panji sambil mengepalkan tangannya.

"Dia yang merampas hidupnya sendiri agar engkau dapat hidup dengan baik, Panji," balas Eyang Merapi.

"Dia tidak akan seperti itu jika dia tidak mendengarkan hasutan dari Dharma," ujar Panji dengan napasnya yang berat.

"Maka itulah yang digariskan Sang Hyang padanya," tambah Eyang Brahma*.

*Gunung Brahma = Gunung Bromo

Panji terdiam sesaat, begitu juga dengan Eyang dan Ibu yang berada di situ. Ruang terbuka itu hening dan hanya menyisakan suara gemerisik daun yang nyaring. Tiba-tiba saja, Panji tertawa. Tawa yang penuh ironi dan kekecewaan.

"Untuk kali ini, saya tidak menerima apa yang digariskan Sang Hyang pada saya," balas Panji dengan nadanya yang penuh keyakinan.

"Siapa kah engkau hingga menentang-Nya? Kita sama-sama kec-"

"Jika Sang Hyang muak dengan saya, Eyang... Ibu... bukankah sejak dulu atmanjiwa dan seluruh nyawa saya telah diambil? Namun, lihatlah sekarang," gumam Panji sambil menatap satu per satu guru yang sangat ia kasihi itu. "Tidakkah Eyang dan Ibu menyadari jika ada sesuatu yang ingin Dia gariskan pada saya di masa yang akan datang?"

"Akan tetapi tidak dengan cara seperti ini," kecam Eyang Merapi dengan sorot matanya yang tajam."

"Jika... waktu bisa diulang, saya akan melakukan hal yang sama. Saya tidak menyesal dan saya tidak akan berhenti." Panji menatap tepat di mata Eyang Merapi dan sungguh mereka mengagumi sekaligus was-was pada keberanian serta keteguhan hati pemuda di hadapan mereka. Ada begitu banyak perempuan di bumi ini, tetapi jika cinta sudah bertindak, maka semuanya akan mengabur.

"Engkau mencari abdi kinasih saya bukan karena rindu, melainkan ingin membalas dendam," simpul Kanjeng Ibu dengan matanya yang berair, membuat Panji terdiam.

"Mega Buana tak lagi menerimamu," tambah Eyang Lawu dengan gurat kecewa di wajahnya. "Wahai Panji Inu Kertapati, hendaklah engkau hidup dalam segala bayang kekacauan yang kau buat hingga Sang Hyang Esa sendiri yang menentukan batas waktumu. Engkau akan diturunkan hingga ke Astana Mandala dan dari sana engkau akan belajar seberapa pedihnya ratap dan tangisan orang yang tak bersalah."

"Kembalilah ketika engkau telah menyadari segala kesalahanmu," tambah Eyang Merapi dengan nadanya yang lebih lembut.

"Saya akan kembali ketika saya menemukan Angreni; Candrakirana-ku."

TBC...

Ini bukan penyembahan berhala atau apa pun ya kawan. Tetapi di atas roh alam (Eyang Merapi, Kanjeng Ibu dan segenap Eyang serta Ibu lainnya) tetap ada Tuhan atau kalau di novel ini sering disebut sebagai Sang Hyang. Sekian, terima kasih🙏

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang