35. PERSIAPAN

6.1K 972 94
                                    

Sejak masuk ke Astana Mandala, Angraeni tidak lagi bersentuhan langsung dengan teknologi seperti ponsel, laptop atau bahkan hiburan media sosial. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk berlatih fisik dan ngelmu. Di waktu senggang, Angraeni akan melukis dengan peralatan yang telah disiapkan raden padanya dan juga membaca buku dari perpustakaan persis seperti saat ini. Ia membaca lembar demi lembar buku di pangkuannya dengan ditemani cahaya lilin dalam keremangan kamar. Hanoman sudah tertidur pulas di sampingnya, meninggalkan Angraeni dan suara jangkrik di malam hari. Angraeni tidak tahu pasti tepatnya pukul berapa malam itu, tetapi instingnya mengatakan jika bulan telah sepenuhnya bersinar di atas langit. Kebayanya telah digantikan dengan ageman tidur berupa kemben dan jarik beemotif batik pesisir. Rambutnya bergelombangnya terurai dan membingkai wajah mungil dan tubuh femininnya.

Ketukan lembut terdengar di pintu kamarnya, membuat Angraeni mematung. Ia khawatir ia salah mendengar, karena itu Angraeni tetap hening dan menajamkan telinganya. Ketukan itu kembali terdengar. Ada apa Yu Siti tiba-tiba mengunjunginya lagi malam ini? Tidakkah terlalu larut untuk menghampirinya?

"Masuk, Yu," ucap Angraeni, tetapi tak ada sahutan ataupun pergerakan dari orang di luar sana. Angraeni mengerutkan kening kebingungan, sambil turun dari ranjangnya dan berjalan ke arah pintu kamarnya. Ia membuka pintu kamar itu dengan gerakan seringan mungkin, bersiap menyambut Yu Siti. Namun, orang yang berdiri di depannya sekarang bukanlah orang yang ia harapkan dan seketika itu juga tubuhnya langsung mematung.

Angraeni mengerjapkan matanya ketika tatapannya bertemu dengan sang raden. Pria itu juga terdiam dan terang terangan menjelajahi setiap senti tampilannya. Tatapan Panji perlahan turun dari mata, bibir, buah dada Angraeni, pinggul dan kakinya. Angraeni tampak sangat feminin, mungil dan rapuh. Panji penasaran seberapa kuat Angraeni bisa menahan genggamannya hingga rintihan dan lirihan memohon yang lembut terdengar dari bibir ranum itu.

"Mas...hah... sakit... Angraeni kesakitan."

"Mengapa... Anda mengunjungi saya selarut ini, Raden?" ucap Angraeni di tengah keheningan, membuyarkan fokus pria itu pada tubuhnya.

"Pakai baju ini dan ikut saya setelahnya," ucap Panji dingin sambil menyerahkan setumpuk pakaian pada Angraeni yang diterima dengan raut bingung perempuan itu.

"Kemana?"

"Kita akan ke desa," jawab Panji singkat, padat dan jelas. "Bersegera lah, Angraeni," tambah Panji lagi tidak sabaran.

"Anda menunggu di luar?" tanya Angraeni dengan raut wajah naifnya.

"Kamu... mau saya masuk?" balas Panji perlahan, membuat Angraeni bungkam dab menyadari kebodohannya. Tanpa berbasa-basi dan meminta maaf, Angraeni langsung menutup pintu kamarnya tepat di depan wajah sang raden. Pipi Angraeni merah padam dan ia segera mengganti pakaiannya sesuai dengan ageman yang diberikan sang raden. Tunggu... ini adalah pakaian pria. Untuk apa pria itu memberikannya pakaian lelaki? Dan mengapa tiba-tiba? Namun, Angraeni tetap mematuhi perintah pria itu dan membuka pintu kamarnya lagi ketika ia telah selesai.

Panji kembali menelaah tampilan Angraeni dan mengangguk puas. Tiba-tiba saja, pria itu mengulurkan tangannya ke pengait ageman Angraeni dan mengaitkan dua pengait teratas yang terbuka. Ia merapikan kerah tegak Angraeni dengan telaten dan membantu perempuan itu untuk memasang manset di pergelangan tangan. Angraeni menatap semua perhatian sang raden padanya dalam keheningan. Tatapannya tak lepas dari wajah Raden Panji yang fokus dengan pengait pada mansetnya.

Pria memiliki struktur wajah yang tegas dengan hidung seperti paruh elang. Matanya tajam dan alis matanya tebal seperti wajah orang Jawa pada umumnya. Jambang tipis menghiasi rahangnya. Raden Panji seperti pengejewantahan wayang Arjuna yang terkenal akan ketampanannya dan kegagahannya sebagai sang ksatria. Tiba-tiba saja, mata pria itu melirik ke arahnya dan memergokinya yang terang-terangan meneliti pria itu. Semburat merah tergambar di pipi Angraeni di kala ia membuang wajahnya. Panji tersenyum tipis dan memilih untuk tetap diam.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang