17. ASTANA MANDALA

7.5K 1.1K 93
                                    

Angreni tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Ia memasuki keratonnya para setan. Namun, anehnya, bangunan keraton itu tak semenakutkan yang ia bayangkan. Keraton itu memiliki arsitektur seperti keraton pada umumnya dengan taman yang luas dan dua pohon beringin besar yang berjaga di depan pintu masuk yang sangat kecil dan hanya bisa dilewati oleh satu orang saja. Panji lebih dulu turun, sebelum merentangkan tangannya, menangkap tubuh Angreni yang melompat ke arahnya. Dengan berhati-hati Panji menurunkan Angreni hingga kakinya menapak sempurna di tanah.

"Masuk dan tunggu saya di dalam," ucap Panji sambil berniat untuk kembali naik ke atas kuda, sampai Angreni dengan sigap menahan sikut pria itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Masuk dan tunggu saya di dalam," ucap Panji sambil berniat untuk kembali naik ke atas kuda, sampai Angreni dengan sigap menahan sikut pria itu. Ekspresi panik menghiasi wajah Angreni. Tatapan Panji terarah pada tangan mungil Angreni yang melingkari sikutnya. Perempuan itu bahkan sampai meremas lengan atasnya saking takutnya.

"Bapak mau kemana?" tanya Angreni cemas.

"Jangan manja, Ni. Masuk," balas Panji. Meskipun ucapan pria itu terdengar menusuk, tetapi pria itu mengucapkannya dengan begitu lembut dan baik. Namun, Angreni tetap tidak terima ditinggalkan sendirian seperti ini di tempat... tidak lebih parah... di DIMENSI yang bahkan tidak ia ketahui sama sekali. Sebelum ia sempat menggerutu pada pria itu, terdengar suara derap kaki tergesa dari balik pintu tunggal bergaya Jawa-Bali itu. Pintu itu terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya yang tampak sangat familiar.

"Raden Panji Inu Kertapati... Den Ajeng Angreni," ucap Mbok Siti sembari mengatupkan tangannya di depan hidung dan berlutut di hadapan Angreni, membuat Angreni semakin sungkan.

"Saya harus pergi, Yu. Siapkan Den Ajeng ketika saya kembali nantinya," pinta Panji yang sudah duduk di atas kuda itu. Tatapan Panji terarah pada Angreni, sebelum memutar tali kekang dan melajukan kudanya kembali ke kuthanegara. Tinggalah Angreni dengan Mbok Siti yang masih berlutut di hadapannya. Angreni melangkah mendekati Mbok Siti, kemudian menarik wanita paruh baya itu untuk ikut berdiri bersamanya.

"Den Ajeng ndak boleh," tolak Mbok Siti dengan lembut sambil menyingkirkan tangan Angreni dari tubuhnya. "Tidak sepatutnya Raden Ajeng menyentuh hamba rendahan seperti saya. Cukup katakan 'berdiri' dan..."

"Mbok, saya nggak paham peraturan dunia ini, jadi anggap aja saya yang kurang ajar," potong Angreni sambil menarik Mbok Siti dan menggandeng lengan wanita paruh baya itu selayaknya teman. Angreni sudah terlalu lelah dan jengkel untuk mengikuti tata krama keraton antah berantah dimensi ini. Mendengar ucapan sang Den Ajeng, Mbok Siti pun hanya bisa mengikuti pinta perempuan muda itu.

Dengan langkah lemas dan terhuyung, Angreni berjalan melewati pintu gapura tunggal itu. Dan apa yang dilihat di baliknya benar-benar membuatnya terperangah. Angreni seperti bermimpi... tidak... ataukah sebenarnya ia sudah mati ketika didorong ke dalam danau itu? Pemandangan di depannya terlalu indah dan syahdu jika dikatakan sebagai keratonnya para setan. Danau yang luas membentang di hadapan Angreni. Jalan setapak tanpa pagar mengantarkannya pada sebuah bangunan di tengah danau yang membuatnya merinding saking kagumnya. Pendopo berarsitektur Joglo dengan Jawa dari kayu jati berdiri megah di tengah danau yang dikelilingi hutan rimbun. Di tengah pendopo yang luas itu terdapat kursi berukiran rumit yang Angreni duga sebagai ukiran Jepara. Meskipun pendopo itu megah dan agung, tetapi Angreni merasa pendopo itu sangat sepi dan menyedihkan. Dari sekian banyak objek, hanya ada satu kursi di tengah.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang