Angreni menatap lukisannya sendiri yang berukuran 20x20 cm itu. Lukisan mungil itu masih terpajang di dinding Museum Macan, tampak sangat kontras dengan lukisan besar lainnya di ruangan itu. Angreni tidak memahami mengapa banyak sekali orang yang sangat menyukai lukisan ini, padahal ini hanyalah gambaran ombak bergulung-gulung. Saat Angreni melukisnya, ia tidak pernah memikirkan makna sedalam itu. Ia hanya menorehkan kuas mengikuti intuisnya dan entah bagaimana caranya lukisan itu tiba-tiba saja selesai. Bahkan Angreni saja tidak ingat proses ia melukisnya atau pun brainstorming konsepnya. Angreni merasa seperti kesurupan ketika melukis lukisan ini.
"Gila ya ada yang mau beli lukisan abal-abal ini 50 juta," ucap Angreni pada Mas PR Museum Macan yang bernama Bayu.
"Aku juga bingung, padahal udah ditawarin lukisan lain," balas Mas Bayu membuat Angreni melirik pria itu tidak terima. Seharusnya pria itu membantah ucapan Angreni dan mengatakan jika lukisannya layak dijual semahal itu, bukannya malah menyetujuinya. Sifat pasif agresif Angreni mulai muncul ke permukaan.
"Tapi katanya dia masih nggak sreg sama lukisan ini. Nanti mau ngehubungin kamu untuk revisi," gumam Mas Bayu yang ditanggapi anggukan dari Angreni. "Aku udah kasih nomor kamu ke asistennya dia. Untuk masalah harga dan lain-lain bicarain sendiri ya."
"Oke, Mas," jawab Angreni lagi sambil menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya makna lukisan ini apa sih? Kamu nggak pernah benar-benar menceritakannya," ucap Mas Bayu dengan nadanya yang serius.
"Mas aja nggak paham, apalagi aku," gumam Angreni sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Waktu aku lukis ini, aku nggak sadar. Kayak tiba-tiba udah jadi gitu."
"Baru tahu pelukis juga bisa autopilot. Enak ya," ucap Mas Bayu sambil berdecak, menganggap perkataan Angreni adalah sebuah candaan.
"Mas revisinya nggak banyak kan?" tanya Angreni sambil menghadap Mas Bayu sepenuhnya dan menatap pria itu. Mas Bayu menatap Angreni sesaat sambil menggaruk kepalanya bingung.
"Waduh, soal itu nggak bisa dipastikan," jawab Mas Bayu membuat Angreni menghela napas pelan.
Angreni kembali menatap lukisan yang membuka momen aneh dalam hidupnya. Setiap kali ia melukis kanvas ini, malamnya ia pasti akan dihantui mimpi-mimpi yang tak biasa, seolah ia menjalani banyak kehidupan berbeda. Mimpi-mimpi itu terasa nyata, tetapi juga seperti angan-angan di saat yang bersamaan. Karena itulah, Angreni memilih untuk menghentikan kegiatan lukis-melukisnya, sebab mimpi-mimpi itu mulai mengganggu keseimbangan psikisnya. Sebentar lagi, Angreni akan gila karena terlalu banyak dibayangi angan-angan halusinasinya.
"Kamu mau tahu fun fact nggak?" tanya Mas Bayu membuat Angreni tersadar dari lamunannya. "Yang beli lukisan kamu adalah seorang kolektor yang paling fenomenal sekarang. Baru-baru ini, dia menyumbangkan tujuh karya yang disebut-sebut sebagai karya penuh misteri. Aneh ya, bagaimana dia bisa menemukan benda-benda lawas seperti itu, bahkan ada yang diperkirakan merupakan peninggalan dari zaman Majapahit."
"Namanya kolektor, Mas," ucap Angreni dengan tawa hangatnya.
"Kamu tahu apa yang lebih keren lagi," ucap Mas Bayu sambil mengusap tengkuknya, karena merinding. "Salah satu pakar yang dihadirkan oleh Museum Macan bilang kalau karya yang dikumpulkan sama si kolektor ini seolah dibuat oleh satu orang yang sama. Teknik, pengerjaan dan ciri khasnya selalu mirip dari setiap karya. Yang mana seperti gue bilang tadi, ada beberapa karya yang usianya udah lama banget. Artinya..."
"Nyontek paling," ucap Angreni suudzon membuat Mas Bayu kehilangan gairahnya untuk melanjutkan cerita menarik penuh misteri ini.
"Seenggaknya nggak artblock," balas Mas Bayu membuat Angreni ingin mencubit pria itu, tetapi Mas Bayu sudah kabur sambil tertawa puas.
Angreni masih menatap lukisannya dalam diam, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengalihkan pikirannya. Cukup lama Angreni merenung, mengamati lukisannya sendiri, hingga ia muak dan membalikkan tubuhnya. Matanya langsung bertabrakan dengan seorang pria jakung yang berdiri 2 meter darinya dan menatap lukisan yang sama. Tatapan keduanya bertaut beberapa detik dan Angreni bisa merasakan jika waktu seolah berhenti. Detak jantungnya tiba-tiba saja memelan dan Angreni merasakan perasaan asing merasukinya. Pria ini anehnya terasa familiar.
Pria itu berkulit sawo matang dengan postur tubuh yang tegak dan gagah dalam balutan kemeja batik hitam dan celana kainnya. Angreni akui pria itu ganteng -tidak, kata yang tepat adalah menawan dan klasik. Pria itu memiliki kharisma dan aura yang tak terjelaskan, membuat perhatian siapa saja akan langsung tertuju padanya. Pria itu tidak sekadar menawan secara bentuk muka dan tubuh, melainkan juga secara pembawaan diri dan auranya yang penuh misteri. Namun, ada kekosongan yang tak terselami di kedua mata pria itu, membuat Angreni bertanya-tanya apa yang sebenarnya dia cari.
Angreni mengabaikan impresinya pada pria itu dan memilih untuk melihat lukisan lain di atrium yang cukup luas itu. Sebagai seorang manusia biasa, insting Angreni merasa ia seperti dilihat oleh seseorang. Namun, ketika Angreni menoleh, ia tidak melihat siapa pun selain pria berkemeja hitam itu. Beberapa kali, Angreni memergoki pria itu seolah mencuri pandang ke arahnya, sebab ketika Angreni menoleh, pria itu langsung membuang wajahnya. Ketika Angreni mengamati sebuah pameran wayang beber di tengah ruangan, ia bisa melihat dari sudut matanya jika pria itu kini berdiri tepat di sebelahnya.
Gambaran wayang dengan warna yang memudar tampak harmonis dengan kertas yang menguning. Wayang tersebut memakai pakaian jawa kuno dan dilukis dengan gaya seperti wayang beber. Wayang laki-laki dan perempuan itu digambarkan seperti tengah menari di pinggir pantai dengan ombak yang bergulung mengitari tubuh sang wayang perempuan dan akar yang membelit tubuh wayang lelaki. Mata Angreni terpaku pada judul lukisan yang tertera tepat di bawahnya.
BERTEMU KEMBALI.
"Nama saya Panji," ucap pria itu tiba-tiba membuat Angreni menoleh dan tatapan keduanya kembali bertemu. Panji mengulurkan tangannya, menunggu jabatan tangan Angreni.
Angreni menyunggingkan senyuman sopannya dan membalas jabatan tangan pria itu. "Angreni."
Angreni bisa merasakan jika pria itu seolah enggan melepaskan jabatan keduanya. Panji seolah ingin meremukkan tangannya, membuat Angreni menarik paksa tangannya. Ia merasa panik dan juga khawatir pria di hadapannya adalah orang gila yang berpura-pura waras.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Angreni perlahan sambil mengusap tangannya terang-terangan, agar Panji tahu jika jabatan tadi membuat tangannya sakit. "Kamu kelihatan familiar."
"Kita lebih dari sekadar 'pernah bertemu', Ni. Sedikit disayangkan kamu melupakan saya," gumam Panji tiba-tiba dengan senyuman tipisnya yang terasa seperti tanda bahaya. "Senang bertemu dengan kamu kembali, Ni."
TBC...
Selamat menikmati
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...