18. PERTARUHAN

6.9K 999 37
                                    

1310, Pesisir Timur, Wilwatikta.

Mataku ditutup dengan kain tebal dan mulutku disumpal. Tanganku diikat di belakang tubuhku dan aku bisa merasakan jika aku dimasukkan ke dalam sebuah kotak kayu yang diseret kereta kuda. Jantungku berdegup tak terkendali, menyadari sepertinya lukisan mesumku telah terdengar hingga ke telinga para petinggi brahma dan mereka ingin menghukumku. Aku menggerakkan tubuhku layaknya cacing dan bulu halus menyentuh pipiku. Kelegaan membanjiri diriku. Setidaknya Hanoman masih bersamaku.

Tak beberapa lama kemudian, guncangan itu berhenti dan aku bisa mendengar derit kotak kayu yang dibuka. Tubuhku diangkat dengan mudahnya dan dipanggul dengan kepalaku yang mengarah ke bawah. Aku ingin mual dan ingin muntah. Oh sial, lagipula mengapa juga aku harus memilih pekerjaan seperti ini? Namun, tidak diragukan lagi jika pendapatanku cukup besar, tetapi dengan resiko yang sama berbahayanya juga. Kini, ketika aku tertangkap, terlalu terlambat untuk meminta maaf atau kembali.

Tubuhku diletakkan di lantai kayu dengan sedikit kasar dan aku hanya bisa duduk dengan wajah bingung, sebab penutup mata dan ikatan di tubuhku masih belum dilepaskan. Derap langkah yang tenang dan lugas menghampiriku disertai derap kaki lainnya, yang aku tebak pastilan para jongos dari petinggi brahman yang menangkapku. Sumpalan mulutku dilepas dengan kasar dan aku bisa merasakan jika ada seseorang yang kini berdiri tepat di hadapanku.

"Mengapa dia berpakaian seperti jongos saudagar Negeri Timur?" Suara yang berat, dalam dan dingin menggema di ruangan itu.

"Dia... adalah seorang jongos di rumah saudagar Negeri Timur, tepatnya bekerja di rumah bordil daerah pesisir," jawab salah seorang pria yang berbeda dengan asal suara dari belakang tubuhku.

"Rumah bordil?" sergah suara berat itu. "Sebagai apa?"

"Pelukis Asmaragama," jawab sang jongos membuat keringatku turun semakin deras. Sial, mengapa pria itu mengucapkannya dengan begitu lantang. Kini, aku terlihat sebagai penjahat kelamin.

"Bukankah itu adalah pekerjaan laki-laki?"

Pertanyaan itu disambut keheningan yang begitu kental di ruangan itu. Aku menggigit bibirku semakin ketakutan. Aku memang sengaja menyamar sebagai laki-laki dengan berpakaian seperti jongos dari Negeri Timur, agar bisa menggeluti pekerjaan menghasilkan seperti ini. Pekerjaan sebagai pelukis mesum saja sudah pasti mendapatkan hukuman yang berat, apalagi jika sampai ketahuan aku adalah seorang perempuan. Besar kemungkinannya aku akan dirajam di tengah desa dengan disaksikan setiap orang. Dan semua Ibu akan menjadikan aku sebagaicontoh jelek pada anak perempuan mereka. Itu adalah mimpi terburuk yang pernah aku dapatkan. '

"Dia... adalah laki-laki, Prabu," ucap sang jongos dengan nadanya yang terdengar bingung.

Ruangan itu kembali hening dan aku hanya bisa mendengar deru napasku yang berat dan detak jantung yang bertalu-talu. Kini, suara napasku ditemani langkah kaki yang perlahan, seolah memutari tubuhku. Aku meremas baju panjangku yang terbuat dari kapas kotor sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Tiba-tiba saja deru napas hangat menerpa tengkuk dan belakang telingaku, membuat bulu romaku berdiri tegak.

"Seorang perempuan yang menyamar menjadi seorang pelukis Asmaragama." Bisikan itu bagaikan bisikan maut yang sering membayangi mimpi burukku. "Bukankah hukuman yang pantas adalah rajam?"

"S-saya tidak mengerti maksud Anda, Prabu," ucapku dengan suara yang berat, berpura-pura bodoh.

"Kamu akan memahami maksud saya malam ini," jawabnya dan aku bisa merasakan dinginnya keris menyentuh pergelangan tanganku dan ikatan disana pun terlepas begitu saja. Sebelum aku sempat melepaskan penutup mataku, tanganku sudah ditarik dan diseret pergi oleh dua abdi dalem estri.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang