Aku membuka mataku sedikit dan mengintip ke arah Rama yang sepenuhnya memejamkan mata dengan napas yang teratur. Dengan rasa penasaran, ku amati wajah Rama yang tampak begitu mendalami laku bertapa di pinggir Pantai Parangkusumo. Suara debur ombak menemani kegiatan bertapa bersama Rama, yang merupakan juru kunci pantai tersebut. Cahaya oranye matahari di sore hari memperjelas kontur wajah Rama yang tampak keras dan tegas.
Di usianya yang paruh baya, Rama adalah pria yang kuat dan tegar. Ia yang membesarkanku hingga sampai saat ini, sebab Ibu telah lebih dulu meninggalkan kami berdua ketika melahirkanku. Terkadang, aku merasa Rama seharusnya membenciku, sebab akulah penyebab kematian Ibu, tetapi... pria itu mencintaiku lebih dari apa pun di dunia ini. Meskipun tidak ada kata sayang terucap, tetapi setiap perhatian sederhana dan perlakuannya padaku sudah cukup memberi gambaran besarnya perasaan sayang Rama padaku.
"Mata, Angreni. Mata," tegur Rama, bahkan tanpa membuka matanya sedikit pun. Aku pun dengan segera kembali memejamkan mataku rapat-rapat dan memulai kembali meditasi yang terinterupsi tadi. Namun, untuk remaja sepertiku bermeditasi adalah hal yang sangat sulit, bahkan lebih sulit dari tugas matematika pangkat dan akar. Pasti ada saja yang membuat fokusku pecah, entah punggung pegal, kaki kesemutan maupun suara teriakan riang anak-anak yang bermain membuatku penasaran.
"Untuk bisa merasakan kembali alam dan bersyukur sepenuhnya kepada Sang Hyang Karsa, kita perlu kembali ke dalam diri sendiri terlebih dahulu," ucap Rama tanpa membuka matanya sama sekali. "Namun, semakin berkembangnya zaman, hubungan kita dengan atmanjiwa kita sendiri semakin terasa asing, membuat kita tak lagi bisa merasakan megahnya alam dan besarnya kasih Sang Hyang Karsa."
Aku tak lagi bisa menahan diriku untuk tidak membuka mata. Tatapanku langsung bertemu dengan ombak Parangkusuma yang bergulung-gulung dan memecah ketika mengenai pasir. Sejauh mata memandang yang kulihat hanyalah laut dan horizon yang megah berwarna jingga keunguan.
"Semua dongeng dan cerita akan kehebatan nenek moyang kita bukanlah mitos belaka, Angreni. Atmanjiwa setiap manusia pada dasarnya memiliki kekuatan dan satu-satunya cara untuk mencapai kekuatan itu adalah dengan menyatu dengan diri sendiri. Dan untuk bisa menyatu dengan atmanjiwa kita, meditasi dan laku batin adalah langkah yang terutama," jelas Rama lagi sambil menekan telapak tangannya pada pasir Parangkusuma dan menghembuskan nafas pelannya, merasakan energi bumi.
Rama membuka matanya perlahan, menatap langit yang sebentar lagi akan menyatu dengan lautan. "Pada dasarnya, dunia ini hanya memiliki dua kekuatan dan elemen. Kejahatan dan kebaikan; Laki-laki dan perempuan; Tanah dan Air. Laki-laki digambarkan sebagai tanah, karena sifat kerasnya dan juga karena tanah sebagai penghasil benih yang baik. Perempuan digambarkan sebagai air, karena sifat luwes dan lemah lembutnya dan juga karena air sebagai pemelihara benih yang baik."
Rama menoleh pada Angreni dengan senyuman tipisnya kemudian menggerakkan tangannya seolah seperti sedang menari tari tradisional. "Kamu bisa melihat simbol ini dalam tarian tradisional kita dari Sabang sampai Merauke, Angreni. Lihatlah tangannya. Yang laki-laki akan kaku seperti kayu dan yang perempuan akan luwes seperti ombak."
Aku mengerjapkan mataku tampak terpukau mendengar ucapan Rama dan melihat bagaimana Rama menggerakkan tangannya seperti sedang menari layaknya penari laki-laki. Tanpa disadari, aku pun juga ikut menggerakkan tanganku dengan luwes seperti halnya ombak yang bergulung-gulung. Gerakan tanganku dan tangan Rama sangatlah kontras, sebab gerakan tangan Rama tegas, presisi dan kaku, sedangkan diriku luwes, ringan dan indah. Namun, kontrasnya gerakan tanganku dan Rama bukannya membuat gerakan tersebut terlihat berantakan, tetapi malah terlihat sempurna dan saling melengkapi ketukan antara satu dengan yang lain.
"Memayu hayuning bawana, Angreni. Memperindah keindahan dunia. Caranya adalah mencapai keseimbangan antara dua elemen utama tersebut," gumam Rama padaku, dengan tatapannya yang tenang seperti sungai di hari yang cerah. Setelahnya, Rama kembali memejamkan matanya, mengatupkan tangannya di depan hidungnya dan membungkuk sedalam mungkin untuk memberi salam. Aku buru-buru mengikuti laku Rama dan setelahnya Rama pun berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...