Angreni berdiri kikuk di hadapan Nyai Segara yang tengah memindainya terang-terangan. Angreni sendiri tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba dirias oleh Yu Siti dengan begitu telaten, apalagi dalam ageman tarian Jawa. Ia hanya memakai kemben beludru bersama jarik batik dengan kelat bahu emas berbentuk akar menjulur. Rambutnya hanya dikepang tunggal dengan berbagai hiasan bunga segar yang diselipkan, sehingga membuatnya terlihat seperti gadis perawan yang ayu. Di lehernya sudah menggantung selendang sutra tipis berwarna hijau tua. Ia meremas selendang itu, tampak gentar dengan arah mata Nyai Segara. Tatapan perempuan tua itu terhenti di lehernya cukup lama, membuat Angreni buru-buru menggaruk lehernya, sengaja menyembunyikan bekas ciuman sang Raden disana. Pipinya memerah hingga ke telinganya dan tanpa perlu bertanya, semua orang tahu jika tanda itu bukan dari serangga.
Nyai Segara tampak sama agungnya dengan jajaran gunung gagah di belakangnya. Angreni meyakini jika perempuan itu adalah penguasa sesungguhnya di tempat ini, atasan Raden Panji. Sorot matanya tajam, seolah mengetahui setiap rahasia yang Angreni sembunyikan. Bahkan sepertinya perempuan tua itu tahu pencarian Twitter dan perpustakaan webnovel yang Angreni tutup rapat-rapat, bila perlu sampai ia meninggal. Nyai Segara berdiri dari posisi duduknya di tengah undakan bebatuan, yang mana terlihat seperti batu untuk menyerahkan sesembahan. Perempuan paruh baya itu berjalan mengitari Angreni, membuat Angreni terus mengikuti gerak-geriknya.
Angreni dikelilingi batu menhir dalam berbagai macam ukuran yang cukup tinggi dan kokoh. Angreni tebak usia batu itu melebihi usia perempuan tua yang sedang mengelilinginya sekarang, sebab lumut tersebut sudah merayap hingga di pertengahan batu. Taman menhir itu berada tepat di bawah reruntuhan batu, tempat Angreni mengucapkan mantra yang mengikat dirinya dengan Raden Panji. Angreni bisa merasakan kekuatan magis yang cukup besar dari taman yang ia pijaki sekarang. Meskipun tak sebesar reruntuhan tersebut, tetapi Angreni tahu jika batu-batu Menhir ini menyimpan memori lintas masa akan leluhurnya; nenek moyangnya; eyang dan ibu tanah ini.
"Halo?" sapa Angreni akhirnya, berusaha meredakan kecanggungan diantara mereka. "Apa kabar...? Hi!"
"Duduk bersimpuh," pinta Nyai Segara ketika akhirnya ia kembali berdiri tak jauh di hadapan Angreni.
"Hari ini... kita mau ngapain ya?" ucap Angreni sambil cengengesan, seolah-olah Nyai Segara adalah sahabatnya. Tentu saja, itu tidak mungkin terjadi. Angreni terlalu generasi Z untuk Nyai Segara yang generasi Zaman Batu.
Mata Nyai Segara berkedut, seolah menahan kejengkelannya akan setiap pertanyaan bodoh Angreni. "Kamu tahu apa yang paling berbahaya di dunia ini, Angreni?" tanya Nyai Segara dengan nada dinginnya. Angreni membungkam mulutnya rapat-rapat dan menggeleng. Bulu romanya berdiri tegak. Sial, tidak heran, perempuan tua itu penguasa disini. Dia jauh lebih menakutkan dari Raden Panji. Raden Panji hanyalah remah rengginang jika dibanding dengan Nyai Segara.
"Tutur," jawab Nyai Segara sambil duduk bersimpuh di rumput dan langsung diikuti Angreni. "Setiap perang besar yang terjadi di tanah ini; gejolak demi gejolak; pertumpahan darah antar saudara dan kerajaan, terjadi hanya karena satu penyebab."
"Tu.tur," ulang Nyai Segara dengan penuh penekanan.
"Karena itu leluhur selalu memberikan nasihat yang sama di setiap generasi. Dengarkan semua hal, tetapi katakan yang penting. Semuanya penting untuk didengarkan, tetapi tidak semua harus dikatakan." tambahnya lagi membuat Angreni mengangguk berkali-kali.
Ketika dirasanya Angreni sudah cukup memahami maksud perkataannya, Nyai Segara menarik napas panjang, lalu memejamkan matanya. Ia menelusurkan kedua jemarinya di sela-sela rumput tinggi itu. Dan tanah itu bergerak dan bergemuruh pelan. Tiba-tiba saja muncul jalinan akar kuat dari tanah yang bergerak dan membentuk berbagai macam alat musik yang mengelilinginya. Angreni tidak dapat menahan dirinya untuk tidak melongo. Matanya mengitari satu per satu alat musik tradisional yang terbuat dari akar itu. Bonang, kenong, kendang, saron, kenong, gong dan masih banyak lagi. Meskipun terbuat dari akar, tetapi setiap detail dan bahkan ukiran terbentuk dengan sempurna. Hanya saja, alat musik yang terbentuk tidak berwarna-warni seperti yang Angreni ketahui sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...