Yu Siti telah lama pergi untuk mengambil ramuan lukanya. Di tengah keheningan malam, Angreni terisak di depan cermin. Apa yang dialaminya hari ini sungguh menguras emosi dan tenaga fisiknya. Memang Panji tidak benar-benar membunuhnya, tetapi pria itu memperlakukannya seolah ia adalah mainan dan kelinci percobaan yang bisa diserang sesuka hati. Angreni merasa sangat terluka pada semua obsesi dan ekspektasi pria itu padanya, hanya karena dia adalah reinkarnasi kesembilan Dewi Candrakirana. Isakannya memelan ketika ia mendengar derap kaki menuju ke kamarnya. Derap itu terdengar kasar dan lugas, membuat Angreni menyadari jika bukan Yu Siti yang menghampirinya.
Dengan segala kewaspadaan, Angreni langsung menghunus kerisnya yang semula dalam bentuk gelang akar tersebut. Ia bersembunyi di balik pintu dan menunggu dengan jantung yang bertalu-talu dalam dadanya. Pintu itu membuka perlahan dan benarlah dugaannya. Raden Panji Inu Kertapati lah yang masuk dengan sepiring klepon di tangan kirinya dan ramuan herbal di tangan kanannya.
Angreni langsung menodongkan keris itu di belakang leher Panji. Namun, Panji hanya meliriknya sekilas dan melangkah tenang ke tengah ruangan. Ia meletakkan piring dan ramuan herbal itu di nakas sebelah ranjang, sebelum kembali berdiri tegak. Tangan Angreni gemetar hebat ketika menodongkan keris itu pada Panji. Panji berbalik dan langsung melangkah mendekati Angreni. Melihat gerak tak terduga pria itu, Angreni refleks mundur.
"Keluar dari sini!" pekik Angreni dengan penuh kemarahan. Air matanya mengalir di pipinya, sebagai lambang kekesalan yang begitu menggumpal dalam dadanya.
"Setelah saya mengobati kamu," balas Panji dengan nada tenangnya, tanpa menghentikan langkahnya ke arah Angreni.
Berbekal nekat, Angreni langsung menekan ujung keris yang tajam itu di dada kiri Panji, tepat di depan jantungnya. "Saya bisa melakukannya sendiri. Jika Anda melakukan ini karena Anda merasa bersalah, sebaiknya tidak perlu. Saya lebih senang Anda pergi dari sini," gumam Angreni dengan nada dinginnya.
"Saya tidak merasa bersalah," jawab Panji dengan sikap dan nadanya yang seperti air di sendang. Pria itu bahkan tidak terprovokasi sedikit pun dari kemarahan Angreni yang meledak-ledak.
"Saya khawatir," tambah Panji, membuat Angreni menggenggam pendhok kerisnya semakin erat.
"Khawatir?" decih Angreni tak percaya. "Setelah berusaha membunuh saya?!"
"Jika saya ingin kamu mati, Angreni, saya sudah melakukannya sejak awal kita bertemu," sergah Panji. "Tapi tidak kan? Jadi simpan semua sifat kekanakan kamu dan biarkan saya mengobati luka kamu."
Ketika Panji ingin meraih Angreni, Angreni kembali melangkah mundur dengan keris yang masih mengacung tegak. Panji mengetatkan gerahamnya jengkel dan menghembuskan napas kasar. Angreni mengira pria itu menyerah, tetapi tiba-tiba saja, Panji menendang keris itu hingga terlempar ke atas. Dengan sigap, pria itu langsung menangkap senjata berlaras gelombang itu dan balas menodongnya pada Angreni. Ujung keris yang tajam menekan pertengahan buah dada Angreni dan bahkan menyentuh kulitnya.
Panji melangkah maju dengan ujung keris yang masih setia menempel di pertengahan buah dada Angreni. Hal itu membuat Angreni mau tidak mau melangkah mundur, hingga akhirnya kakinya membentur pinggiran ranjang. Angreni jatuh terduduk di pinggiran ranjang dengan keris itu yang masih setia teracung padanya. Tatapan Angreni yang tajam masih setia tertuju pada Panji yang berdiri menjulang di depannya.
"Anda senang melihat saya tidak berdaya, Raden." Itu bukanlah pertanyaan melainkan kesimpulan.
"Sangat," balas Panji dengan tatapannya yang menajam. Keris itu digesernya naik dari pertengahan buah dadanya yang hanya terbungkus kemben tipis, terus hingga ke leher jenjangnya dan keris itu mendorong dagunya untuk naik. "Saya senang memegang kendali, Angreni."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...