Sabda Alam oleh Ismail Marzuki
***
Panji memakai cadarnya yang berwarna indigo dan menyusuri jalan setapak yang mengantarnya ke tengah hutan kaki gunung Lawu. Ia menyelipkan kedua jarinya di antara bibirnya dan bersiul dengan suara yang cukup nyaring. Tak lama kemudian, kepakan sayap terdengar dari kejauhan dan menghampirinya.
"Siarkan kabar untuk menemui saya di tengah hutan, dekat aliran sungai," gumam Panji pada Garuda. Burung itu menundukkan kepalanya, sebelum terbang setinggi mungkin dengan keagungannya yang mistis. Setelah kepergian Garuda, Panji mulai menyisir hutan yang semakin lama semakin rimbun. Jalan setapak yang ia lewati perlahan-lahan semakin mengerucut dan akhirnya menghilang ditelan rerumputan yang semakin tinggi dan pepohonan berkanopi tebal. Hal itu sebagai pertanda bahwa ia masuk semakin dalam ke jantung hutan yang jarang dikunjungi manusia normal pada umumnya. Hanya mereka yang memiliki intensi tak biasa yang masuk ke jantung setiap alas di tanah ini.
Karena memakai cadar, tak seorang pun yang menyadari jika pria yang baru saja melewati mereka adalah sang legenda Raden Panji Inu Kertapati, sang raksaka berdarah dingin. Tak ada yang berani berurusan dengan Panji Inu Kertapati, karena reputasinya yang terkenal kejam dan bagai monster di Pendopo Agung. Bahkan beberapa dukun lebih memilih mati karena dimakan setannya sendiri daripada harus mati di tangan sang raden.
Suara kepakan sayap itu kembali terdengar dari ranting ke ranting. Di atas kepalanya sudah terbang garuda yang siap menunjukkan jalan pada orang yang ingin ia tuju. Panji mengikuti Garuda jauh ke dalam hutan, hingga akhirnya bertemu dengan punggung ringkih seorang dukun. Ketika Panji berhenti, Garuda terbang rendah dan hinggap di pundaknya.
"Kamu sudah menemukannya?" tanya Panji singkat, padat dan jelas.
Dukun ringkih itu mengangguk. "S-saya akan memberitahukannya pada Anda jika Anda... berjanji akan memberikan harta yang Anda janjikan, Raden."
"Jangan membuang waktu saya, Karno," geram Panji, membuat dukun itu semakin gemetar ketakutan.
"Y-ya, saya menemukannya," gumam Karno tidak berani menatap mata tajam sang raden. "N-namun, Raden... saya tidak bisa membawa mustika atmanjiwa itu pada Anda. Kekuatan saya... masih tidak memadai untuk melakukannya."
Panji mengerutkan kening tidak senang mendengar ucapan pria itu. "Dimana kamu temukan mustika itu?"
"Dari arahan esensi raga yang Anda berikan pada saya, mustika itu terpendam jauh di dasar Telaga Warna, Dieng," gumam Karno dengan tatapannya yang yakin. "Saya tidak berbohong, Raden. Saya sungguh mengatakan kebenaran. Darah dan rambut yang Anda berikan pada saya yang menunjukkan letak itu."
Ya, Raden Panji telah menyuruh orang lain untuk melacak letak atmanjiwa Dewi Candrakirana sejak Angreni masuk ke kedhaton. Ia diam-diam menyimpan darah dan potongan rambut Angreni ke dalam sebuah liontin kalung dan memberikannya pada suruhannya. Bahwasanya setiap tubuh yang bereinkarnasi pasti akan terhubung dengan atmanjiwa di kehidupan lampaunya. Esensi raga Angreni akan menunjukkan dimanata letak atmanjiwa sesungguhnya yang telah dipendamnya di kehidupan pertama.
"Saya percaya," ucap Panji tenang. Telaga warna adalah tempatnya dan Angreni pertama kali bertemu. Dan tidak ada yang tahu informasi ini selain Panji dan Angreni sendiri. Kemudian, tawa pelan keluar dari bibir Panji. "Dari sekian jurang, telaga dan lembah di Jawadwipa ini, perempuan itu memilih untuk menyembunyikannya di Telaga Warna? Tempat sedangkal itu?" gumamnya pada diri sendiri.
Panji mengangguk sebagai isyarat pada peliharaan setianya. Tiba-tiba saja, Garuda melesat dan terbang ke arah Karno. Kalung liontin itu dirampas dari tangan Karno dan diserahkan kembali pada Panji. Panji menggenggam liontin kaca berwarna merah pekat dan berisikan seuntai rambut itu. Karno semakin gemetar di tempatnya berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...