29. HANOMAN

6.9K 1K 183
                                    

Entah mengapa hari itu baterai sosial Angreni tiba-tiba saja habis. Sejak pagi, Angreni langsung bersembunyi dan menyendiri di sudut ruang perpustakaan yang sepi. Ia sedang tidak ingin berlatih tarian ataupun mengolah batin lagi. Angreni hanya ingin menjauh dari segala tuntutan, misteri dan teka-teki lainnya. Untuk sesaat... sesaat saja, biarkan Angreni beristirahat. Biarkan pikiran Angreni tenang tanpa berbagai tanda tanya mengenai keberadaan Rama, siapa Panji sebenarnya dan apa yang akan ia hadapi di masa yang akan datang.

Angreni menyandarkan kepalanya di dinding kayu sambil membaca dalam keheningan. Perpustakaan itu sangatlah aneh, sebab beberapa arsip terbuat dari lontar dengan aksara yang tidak ia pahami sama sekali. Dan beberapa lagi dalam bahasa Belanda, lalu barulah dalam bahasa Melayu dan Indonesia. Angreni perkirakan buku-buku yang sudah ditulis dalam bahasa Melayu atau Indonesia adalah buku yang terbit di era pasca penjajahan, yakni pertengahan 90-an. Angreni menikmati membaca karya-karya itu dalam keheningan perpustakaan yang beraroma gaharu itu.

Namun, tubuhnya menegang ketika ia mendengar derap kaki di sekitarnya. Angreni menghentikan aktivitas membacanya sembari menggenggam bukunya dengan erat. Langkah itu lugas dan tegas, sebelum berhenti sesaat dan kembali berjalan. Sebenarnya Angreni juga tidak memahami mengapa ia harus tegang, sebab ia tidak melakukan kesalahan sama sekali. Namun, langkah kaki itu seolah menjadi pertanda kematiannya.

"Siapa yang menyuruh kamu masuk ke sini?"

Ucapan itu membuat Angreni memekik kaget dan menoleh. Di sampingnya sudah berdiri menjulang tubuh besar Panji dengan segala keagungannya yang mengintimidasi. Angreni buru-buru berdiri dan menghadap pria itu. Ia memeluk buku itu dengan erat dan menatap tepat di mata Panji.

"Em... hm... saya hanya... hanya... ingin membaca, Raden," ucap Angreni sambil menelan ludahnya.

Panji hening sesaat sambil menelaah Angreni dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pria itu melangkah mendekati Angreni dan sebelum Angreni sempat berbicara, buku di pelukannya sudah ditarik. "Mas mencari kamu seharian. Dan ternyata kamu bersembunyi seperti kelinci kecil di sini?" gumam Panji sambil mengamati buku yang sempat dibaca Angreni. Samar Angreni melihat senyuman tipis di wajah pria itu.

"Mencari untuk apa?" tanya Angreni kebingungan dengan tatapan naifnya. Panji meletakkan buku itu serampangan di rak, sebelum kembali melabuhkan tatapannya ke arah Angreni. Ia menumpukan tangannya di rak sebelahnya, sedangkan yang lain masuk ke saku jariknya. Tubuh Panji sedikit condong ke arah Angreni, seolah ingin mengintimidasi perempuan itu, padahal kenyataannya Panji hanya ingin menghirup wangi sedap malam yang khas itu lebih banyak lagi.

"Siapa yang memasang bunga-bunga ini?" tanya Panji tiba-tiba sambil menyentuh bunga-bunga yang terangkai cantik di telinga dan kepangan tunggal Angreni. Ucapan pria itu keluar dari konteks membuat Angreni semakin kebingungan.

"Yu Siti," jawab Angreni tidak sabaran. "Mencari saya untuk apa, Raden?"

"Cantik," puji Panji sambil mencuri salah satu rangkaian bunga dari rambut Angreni dan menyelipkannya ke dalam saku ageman rapinya.

"Raden!" seru Angreni jengkel, sebab pria itu tidak kunjung menjawabnya.

"Kamu memakai perona?" tanya Panji lagi, mengabaikan seruan Angreni dan malah mengusap pipinya dengan ibu jari.

"Raden... mencari saya untuk apa?" tegas Angreni sekali lagi, kebingungan dengan sikap pria di depannya. Angreni menahan tangan pria itu agar tidak menyentuhnya lebih jauh dengan tatapan waspadanya yang tak lengah sedikit pun.

"Panggil yang benar," pinta Panji dominan sambil menekan lembut bibir Angreni, membuat Angreni terhenyak. Meskipun nada pria itu datar dan malah terkesan tenang, tetapi seolah menyiratkan keharusan yang tidak bisa Angreni tolak. Pria itu seperti memerintahnya secara halus dan lembut, saking baiknya sampai Angreni tanpa sadar mengikutinya.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang