Angreni duduk di depan meja rias berukiran rumit itu dan menyadari wajah dan tubuhnya tampak sangat berbeda. Ia seperti mayat berjalan dengan mata yang cekung, pipi yang tirus dan bibir pucat. Tubuhnya bahkan tiba-tiba saja menjadi lebih ringkih dengan tulang belikatnya yang terlihat jelas. Yu Siti memakaikan Angreni kebaya biru muda dengan jarik bermotif kawung. Rambutnya disanggul rapi dengan tatanan bunga segar yang cantik. Namun, meskipun tampilannya manis, Angreni tidak merasa cantik sama sekali. Ia merasa seperti orang kanker stadium akhir.
"Apa... ada kabar dari Mongki?" tanya Angreni pada Yu Siti yang masih sibuk menata rambutnya.
"Nyuwun pangapunten, Den Ajeng, saya tidak mengenal ada abdi dalem bernama Mongki disini," balas Yu Siti, membuat Angreni terdiam kemudian mendengus geli.
"Maksud saya... monyet putih kecil yang selalu mengikuti saya. Namanya... Hanoman?" Angreni mencari Hanoman bukan karena ia merasa kehilangan pada siluman klepon itu. Ia mencari Hanoman, karena ia ingin mendapatkan petunjuk akan siapa yang mengirim mahkluk itu. Jika Panji tidak memiliki jawaban, maka Hanoman mungkin memiliki apa yang ia inginkan. Dan lagi... mungkin saja, Hanoman memiliki petunjuk dimana Rama berada.
"Belum ada kabar, Den Ajeng," balas Yu Siti dengan nadanya yang perhatian. Setelahnya, Yu Siti izin pamit undur diri dari situ, meninggalkan Angreni di kamar yang luas itu. Bahkan kamar itu sebesar dua ruang kosnya digabungkan. Angreni bangkit dari kursi riasnya dan melangkah keluar dari kamarnya, ingin mengenal lebih dalam keraton setan ini.
Seperti namanya, Angreni memang bisa merasakan ada aura negatif yang begitu kuat dari beberapa tempat di keraton ini, seperti di Pendopo Agung. Namun, anehnya, ada beberapa lokasi yang juga memiliki aura positif yang kuat, seperti reruntuhan bangunan di atas bukit. Kedua energi itu seolah saling tarik-menarik dan tinggal menunggu waktu, melihat siapakah yang akan menjadi energi terbesar. Bagi manusia indigo biasa seperti Angreni, hal ini cukup membuat kepalanya sakit.
Angreni menelusuri area demi area di keraton itu yang akan selalu dibatasi dengan patung Dwarapala hidup dan gapura bergaya Jawa-Bali. Ia pernah menjadi abdi dalem di keraton manusia dan Angreni mengakui keraton setan ini sangat sepi. Saking sepinya, Angreni bahkan bisa mendengar bunyi gemericik air seperti sendang atau sungai. Tak hanya itu, suara gesekan daun pun terdengar dengan sangat jelas. Kaki telanjangnya yang menelusuri pasir pun juga terdengar sangat nyaring di tempat yang sepi itu. Kemana perginya semua orang? Terlebih Angreni tidak senang ditinggal sendirian seperti ini. Selama ini, Angreni tidak pernah merasa kesepian seperti ini. Teman setannya atau bahkan teman manusianya selalu ada di sisinya.
Langkah Angreni terhenti pada sebuah tembok putih memanjang. Ia yakin sekali, sebelumnya tembok ini adalah sebuah pintu gapura. Dugaannya diperkuat dengan dua patung Dwarapala yang berjaga di tembok polos itu. Jika terdapat Dwarapala, maka Angreni yakin sekali jika bagian tembok putih itu memang dulunya adalah sebuah pintu. Angreni menekan telapak tangannya di tembok putih itu, seolah mencari tombol atau jalan tersembunyi yang bisa membukanya.
"Itu tidak akan berhasil, Anak Muda," gumam salah seorang penjaga. "Jika Raden Mas Panji Inu Kertapati sendiri yang menguncinya, maka takkan ada yang bisa membukanya."
"Memangnya dibalik ini ada apa?" tanya Angreni penasaran
"Jika saya menjadi kamu, Anak Muda, hal terakhir yang ingin saya cari tahu adalah apa yang Raden Mas Panji tutup," balas penjaga yang di sebelah kanan dan barulah Angreni menyadari jika mahkluk itu adalah perempuan, karena suaranya yang jauh lebih lembut.
"Ya, sebaiknya gadis muda sepertimu bersenang-senang di Sendang Wening," ujar yang lain.
Rasa penasaran Angreni teralihkan. Kini, ia malah mendekati Dwarapala perempuan itu dan mengamatinya dengan wajah penasaran. Setelah dilihat baik-baik, Angreni baru menyadari jika struktur anatomi tubuh keduanya pun memiliki perbedaan. Dwarapala laki-laki memiliki struktur yang lebih keras dan tajam, sedangkan yang perempuan lebih meliuk dan sudut-sudut lembut. Wajah garang keduanya mungkin sama, tetapi tubuh tak bisa membohongi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...