40. BERDARAH

8K 1K 103
                                    

Ini aneh. Ini mencurigakan.

Sudah lewat dua bulan Angreni di Astana Mandala, Raden Panji tidak lagi menyentuhnya dengan agresif seperti yang awal pria itu lakukan. Bukannya Angreni berharap disentuh, tetapi pria itu sendiri yang mengatakan jika akan meminta kedekatan seperti itu lagi entah kapan. Dan Angraeni merasa dirinya sudah gila, karena sejak tamasya singkatnya ke desa sekitar gunung Lawu, ia tidak keberatan dimesrai oleh sang raden. Satu sisi Angraeni merasa ini tidak benar, tetapi di sisi lain ia ingin menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Raden Panji. Berkali-kali, Angraeni meyakinkan dirinya bahwa Raden Panji bukanlah tipenya. Namun, setiap kali pria itu menyentuhnya secara singkat saja, Angraeni merasa seluruh tubuhnya dialiri semut dan ia mengharapkan lebih.

Bahkan ketika Angraeni menemani sang Raden mandi, ia tidak berhenti mencuri pandang pada pria itu. Dan setiap kali tatapan mereka bertemu, Angraeni langsung membuang wajahnya. Pria itu tidak menciumnya pagi ini dan hanya mencuri satu bunga hiasan di rambutnya. Tidak ada percakapan berarti, membuat Angraeni merasa ganjal, sebab sang raden yang biasanya selalu berusaha mendekatinya. Permainan tarik ulur ini membuat Angraeni jengkel. Selain marah pada Raden Panji, ia lebih marah pada dirinya sendiri yang sudah menaruh sedikit harapan pada pria itu. Bahkan ketika berpapasan di siang hari sekali pun, pria itu hanya meliriknya dan melewatinya begitu saja.

"Terakhir kali, saya mengingat kalian sudah saling bercumbu. Apa yang terjadi?" tanya Hanoman kebingungan. Monyet itu kini berada dalam pelukannya sambil merapikan sumping emasnya. Meskipun cerewet, Angraeni tidak bisa menyangkal jika Hanoman telah menjadi bagian dalam dirinya. Monyet itu selalu menemaninya kemana saja dan mengomentari apa pun yang ia lakukan.

"Diam," balas Angraeni malu, karena suara monyet itu yang besar. Angraeni menjepit moncong monyet itu membuat Hanoman meronta. "Tidak ada yang terjadi antara saya dan Raden. Itu semua hanya kecelakaan."

"Angraeni."

Seruan tersebut membuat Angraeni menoleh dan matanya langsung bertemu dengan Mas Arya. Mas Arya menyodorkan jambu merah yang diterima dengan senang hati oleh Angraeni. "Kamu tampak cantik sekali hari ini, Ni," puji Mas Arya dengan senyuman hangatnya, membuat pipi Angraeni merah padam.

"Makasih, Mas," jawab Angraeni malu-malu.

"Dia berdandan untuk seseorang hari ini," bisik Hanoman, membuat Angraeni langsung memeluk monyet itu untuk membungkam mulutnya yang ember.

"Perempuan yang sedang jatuh hati memang akan lebih cantik," balas Mas Arya dengan tatapannya yang bersungguh-sungguh, membuat Angraeni terdiam sejenak, sebelum kembali memalingkan wajahnya malu.

"Ah ya, kemarin ketika berkeliling koa Astana Mandala, Mas bertemu dengan seorang genderuwo, seorang kuntilanak dan satu lagi seorang pocong. Katanya, mereka mencari perempuan bernama Angraeni. Kamu mengenal mereka?" tanya Mas Arya, membuat Angraeni menoleh kaget. Untuk apa Bang Kusno, Mbak Karina dan Mas P mencarinya hingga sejauh ini. Dan sejujurnya Angraeni juga rindu pada sahabat setan freelance-nya itu.

"Mereka... teman aku," jawab Angraeni sambil cengengesan.

"Kamu berteman dengan setan, Ni?" tanya Mas Arya kaget.

"Ceritanya panjang, tetapi singkatnya iya," jawab Angraeni sambil menggaruk tengkuknya.

"Dia membuka usaha setan," gumam Hanoman lagi, membocorkan semua informasi Angraeni.

"Seperti dukun?"

Angraeni terdiam sesaat, sebelum tergelak. Tawanya begitu lebar, hingga membuatnya refleks memukul lengan Mas Arya. Dengan lembut, Mas Arya menahan tangan Angraeni yang memukulnya. Ia menggenggam tangan feminin itu sembari menikmati ekspresi bahagia Angraeni.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang