Sejak dua hari yang lalu, Angreni terus dimandikan bunga sembilan kembang di pinggir Sendang Wening ketika fajar. Setiap kali Angreni bertanya pada Yu Siti yang memandikannya, wanita paruh baya itu hanya tersenyum dan menjawab jika mandi sembilan kembang dapat menyembuhkan lukanya perlahan. Namun, pakaian yang digunakan Angreni bahkan sudah seperti perempuan yang akan menjalani ritual Midodareni. Bunga kantil dirangkai melingkari kepalanya dan menjuntai bersama rambut panjangnya. Ia hanya memakai kemben, begitu juga dengan jarik berwarna cokelat sama. Tidakkah ini terlalu mewah untuk mandi kembang yang bertujuan menyembuhkan? Mandi kembang ini malah terasa seperti ingin mempercantiknya.
"Tunggu disini sebentar, Raden Ajeng. Saya akan segera kembali," ucap Yu Siti tampak terburu-buru seperti melupakan sesuatu.
Tinggalah Angreni sendirian di pinggir sendang asri itu dengan ditemani cicit burung dan pemandangan langit yang begitu cantik. Udara gunung yang dingin membuat Angreni beberapa kali bersin dan menggigil. Sampai tiba-tiba saja, tangan mungil berbulu memegang lengannya. Angreni menoleh dan matanya melebar kaget ketika melihat sang buronan kini sudah di depan matanya. Dengan penuh kemarahan, Angreni langsung mencengkeram tubuh Mongki dan membawa mahkluk itu ke pangkuannya.
"Pelan-pelan, Anak Muda! Buluku rawan rontok," ucap Mongki sambil mengelus bulu putihnya dengan wajah prihatin.
"Kau bisa berbicara? Jadi Mbak Karina benar... kamu bisa berbicara?!" ucap Angreni dengan nada marahnya yang menggebu-gebu. Dengan kasar, Angreni menggerakkan tubuh mungil monyet itu hingga Mongki terhentak maju mundur. "Siapa yang mengirimmu. Katakan!"
"Saya... tidak.... bisa... berpikir... jika... digoyangkan... seperti... itu..." ucap Mongki terbata di setiap hentakan Angreni. Angreni pun dengan segera menghentikan gerakan brutalnya, tetapi tetap menahan monyet itu agar tidak kemana-mana.
"Pertama, ya saya bisa berbicara. Saya adalah Hanoman, khodam paling tersohor di tanah ini, sahabat Raden Jayabaya," ucap Mongki dengan wajahnya yang sombong, membuat Angreni semakin tidak percaya. "Kedua, saya tidak bisa mengatakan siapa majikan saya, sebab ada ikrar yang..."
"Kalau kamu..."
"Saya memiliki gelar, Perempuan! Panggil saya... Kanjeng Hanoman."
Angreni sedang tidak dalam situasi ingin bermain-main atau bercanda sekarang apalagi dengan siluman kera putih cerewet ini. "Kalau kamu tidak mengatakan siapa yang mengirim kamu ke sini, maka saya akan berteriak supaya Raden Panji sendiri yang akan menangkap kamu," ancam Angreni.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...