15. BUNUH DIRI

6.2K 1.1K 127
                                    

Angreni mendongak dan menyadari langit semakin pekat dengan udara yang semakin dingin. Angreni paham betul perbedaan antara udara dingin asli gunung dan udara dingin pertanda hujan. Dan kali ini, ia yakin sekali hujan akan mengguyur gunung Lawu di malam hari. Matanya yang tertuju pada langit perlahan beralih pada Panji yang kini berjalan di hadapannya. Mereka masih mengikuti rombongan pendaki yang kebetulan juga mendaki di waktu yang sama. Meskipun tampak tenang dan terkendali, Angreni bisa merasakan kegelisahan samar dalam diri Panji. Sejak tadi, Panji terus mengedarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan, lalu menoleh ke belakang. Mata mereka akan bertemu dan Panji akan kembali mengarahkan tatapannya ke depan.

"Lebih cepat, Angreni," ucap Panji dengan nada dinginnya ketika melihat Angreni berhenti sejenak karena betisnya seperti ingin melahirkan. Tinggal di ibukota yang serba instan membuat tubuhnya menjadi lemah. Ini adalah pertama kalinya Angreni memanjat gunung sejak Rama meninggal dan ia merasa sangat kelelahan. Anehnya, Panji tidak terlihat lelah sama sekali. Pria itu tetap bugar dan terus memaksa Angreni berjalan, padahal pendaki lain juga sama lelahnya sepertinya dan memilih untuk beristirahat.

"Mas, istirahat dulu. Kasihan pacarnya," ucap salah seorang pendaki pada Panji yang masih menunggu Angreni.

"Angreni, segera. Hujan akan turun sebentar lagi," gumam Panji sambil mendekati Angreni dengan nada tidak senangnya.

"Titik peristirahat dekat kok, Mas. Paling 15 menit lagi sampai, jadi biarin istirahat dulu. Ini juga awannya masih belum terlalu pekat," bela pendaki yang lain dan ditanggapi anggukan dari sesama kawannya.

Namun, Panji tidak mengindahkan ucapan mereka. Ia membungkuk dan mengangkat ransel Angreni. "Ayo, Ni," ucap Panji membawa ransel Angreni yang sama beratnya dengan ranselnya. Setelahnya, Panji tidak mengatakan apa-apa, selain berjalan terlebih dahulu meninggalkan Angreni. Angreni tidak memiliki pilihan lain, selain mengikuti pria itu dari belakang. Angreni merasa tidak enak pada Panji, sebab tasnya sangat berat dan pria itu kini menenteng dua tas, karenanya. Namun, Angreni membunuh perasaan sungkan itu. Toh, yang buru-buru Panji, jadi pria itu yang harus menerima konsekuensinya.

Namun, Angreni akui stamina pria itu tidak main-main. Stamina Panji memang sesuai dengan ekspektasi Angreni akan tubuh tinggi dan kekar pria itu. Pria itu tidak terlihat lelah sama sekali. Tatapannya masih optimis dan langkahnya tidak goyah. Panji mendaki, menurun dan melompat seolah kegiatan ini adalah kegiatan sehari-harinya. Jika pria itu kuat untuk kegiatan fisik seperti ini... apa hal itu berarti pria itu kuat untuk kegiatan yang lain?

Kegiatan seperti... pria dan wanita...

Angreni merasakan pipinya memanas dan ia langsung menepuk pipinya berkali-kali berusaha menghilangkan pikiran mesum itu. Tiba-tiba saja, Panji mendongak, membuat Angreni ikut mendongak bersama pria itu. Seekor burung elang emas mengitari langit, sebelum kembali hilang di balik rimbunnya pepohonan. Angreni mengerutkan kening, sadar betul jika burung garuda itu adalah burung yang menyelamatkannya dari banaspati. Ketika ia mengarahkan tatapannya ke depan, matanya kembali bertemu dengan Panji.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Panji dengan nada pelannya.

"Nggak ada," sergah Angreni cepat, tidak ingin memberitahukan apa yang ia lihat pada Panji. Panji mendengus dan Angreni bisa melihat samar-samar senyuman miring di wajah pria itu, sebelum Panji kembali melanjutkan langkahnya.

"Kenapa pipi kamu merah?" tanya Panji lagi sambil mencengkeram pohon ketika ia menanjak di tanah yang curam.

"Panas," ucap Angreni cepat sambil mengipasi dirinya sendiri.

"Lepasin aja jaketnya."

"Nggak!" seru Angreni dan menyadari jika ia terlalu defensif. Angreni berdeham pelan, sebelum kembali melembutkan suaranya. "Nggak. Aku nggak papa. Aku capek."

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang