"Den Ayu!" Langkah tergesa itu disertai seruan khawatir dari Mbah Surjan. Mbah Surjan ingin menyentuh Angraeni, tetapi dengan segera Angraeni menghindar. Tubuhnya sedang sangat kotor sekarang dan ia tidak ingin menambah pekerjaan Mbah Surjan dengan harus membersihkan diri. "Ngapa ngiki?"
"Jatuh di sawah, Mbah," ucap Angraeni sambil cengengesan dengan kucing hitam legam yang sudah tergolek lemas dalam pelukannya. Pantas saja, Raden Panji tidak keberatan Angraeni membawa pulang kucing hitam ini. Nyatanya, kucing hitam ini merupakan penjelmaan Garin ke dalam wujud yang lebih bisa diterima oleh manusia.
"Gusti..." ucap Mbah Surjan khawatir. "Masuk dulu, nggih? Saya siapkan baju gan-"
"Ndak usah, Mbah," tolak Angraeni tegas. "Nanti Angraeni jalan lewat samping rumah saja. Angraeni boleh pinjam baju, dalaman, sama handuk, Mbah?"
Mbah Surjan buru-buru menuruti permintaan sang Den Ayu dengan menyiapkan pakaian ganti dan handuk. Sembari Mbah Surjan menyiapkan pakaian gantinya, Angraeni membaringkan Garin yang setengah pingsan di kursi teras rumah. Kucing hitam itu menutup matanya dan mendengkur. Garin seperti tengah tertidur pulas, padahal sebenarnya kucing itu lumpuh total, akibat serangan perempuan paruh baya tadi. Angraeni membersihkan noda lumpur di tubuh Garin dengan telaten, membuat dengkuran itu semakin kencang.
Langkah panik itu kembali terdengar dan Mbah Surjan muncul dari balik kusen pintu dengan satu setelan busana. Pakaian ganti yang disiapkan Mbah Surjan berupa kebaya kutubaru berwarna ungu pekat dan jarik bermotif batik sederhana. Segera setelah menerima setelan busana itu, Angraeni mengucapkan terima kasih dan buru-buru melangkah ke kamar mandi yang letaknya terpisah di belakang rumah. Gerimis perlahan mulai turun, membasahi kepala Angraeni.
Ketika akhirnya ia masuk ke dalam kamar mandi, gerimis itu perlahan berubah menjadi hujan yang semakin lama, semakin deras. Angraeni mengeramasi rambut panjangnya dengan telaten, membersihkan setiap bekas lumpur yang sudah menyatu dengan dirinya. Saking banyaknya lumpur yang mengotori dirinya, Angraeni bergulat selama tiga pulub menit di dalam kubikel mungil itu. Ketika selesai, Angraeni membungkus rambut panjangnya dengan handuk dan kembali masuk ke dalam rumah utama.
Di ruang tengah, Angraeni sudah menemukan dua teh panas mengepul dan sepiring klepon. Mbah Surjan sudah menunggunya sembari bermain teka-teki silang di buku bersampul artis itu. Menyadari kehadiran Angraeni, Mbah Surjan buru-buru bergeser dan menarik perempuan muda itu untuk duduk di sebelahnya.
"Kemana saja Den Ayu pergi?" ucap Mbah Surjan dengan raut wajah khawatirnya sembari membantu Angraeni untuk mengeringkan rambut panjangnya dengan handuk.
Angraeni terdiam sesaat, sebelum senyuman hangat tersungging di wajahnya. "Angraeni tersesat dan ndak sengaja jatuh di sawah," bohongnya. Firasat Angraeni menyuruhnya untuk diam dan menyembunyikan semua informasi ini dari siapa pun, bahkan Raden Panji sekali pun.
"Sawah? Itu jauh, Den Ayu. Mengapa tersesatnya sampai disitu?" tanya Mbah Surjan dengan nada kebingungannya yang terdengar jelas.
"Angraeni ndak paham arah, Mbah," jawab Angraeni lagi dengan nada pelannya, membuat Mbah Surjan menghela napas kasar.
"Saya panik, Den Ayu, ketika mengetahui Den Ayu sudah tidak mengikuti saya lagi. Saya baru menyadari Den Ayu menghilang ketika kucing hitam peliharaan Den Ayu melompat turun," ucap Mbah Surjan sambil menepuk jantungnya yang seolah berhenti.
"Angraeni ndak papa, Mbah. Angraeni sudah dewasa," gumam Angraeni dengan tawa pelannya.
"Tapi Den Ayu adalah istri Raden Panji. Saya sudah dimandatkan tugas oleh beliau untuk menjaga Anda."
Angraeni menaikkan sebelah alisnya dengan raut wajah keberatannya. Namun, ia mengerti jika lansia seperti Mbah Surjan seringkali mengambil kesimpulan sendiri. Karena itu, Angraeni memakluminya dan memilih untuk tidam membantah pernyataan sang istri juru kunci itu. Ia menyeruput teh hangatnya dalam keheningan di kala Mbah Surjan membantunya untuk mengeringkan rambut.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...