Panji meraih ageman putih dari lemari kayu kemudian memasangnya di tubuh tegapnya. Ia mengaitkan ageman rapi itu satu per satu dan merapikan ikatan di pergelangan tangannya. Matanya tak sengaja terpaku pada garis luka memanjang yang tergambar di pergelangan tangannya. Tanpa bisa ia cegah, ingatannya kembali berlabuh pada malam kemarin.
Panji mengira ciuman ini hanya akan menjadi ciuman singkat. Namun, ketika bibirnya menyentuh bibir feminin Angreni, ia seolah kerasukan. Panji tidak bisa berhenti... tidak... ia bisa berhenti... tetapi ia tidak ingin. Ada keengganan yang begitu besar dari Panji untuk mengakhiri ciuman intens dan agresif itu. Yang ia inginkan saat itu hanyalah terus merasakan dan mencecap bibir lembut itu. Lenguhan dan desahan lembut Angreni membuat rahang Panji mengetat dan dengan sengaja ia menyelipkan lidahnya ke dalam ciuman sensual itu. Ketika Panji ingin memperdalam ciuman itu, tiba-tiba saja tangan mungil menahan bibirnya dan begitulah ciuman itu akhirnya terlepas.
Napas Angreni berat dan semburat merah mewarnai pipi hingga ke telinganya. Jantungnya berdegup tidak terkendali, membuat Angreni harus menarik napas panjang berkali-kali. Dadanya naik-turun dan tidak sengaja menghimpit dada tegap Panji, karena hampir tidak ada jarak di antara mereka. Tatapan Angreni terhunus tajam ke arah Panji yang hanya menatapnya datar. Iris mata pria itu berubah. Tak lagi cokelat seperti biasanya, melainkan merah gelap dengan kilat berbahaya.
"Apa?" tanya Panji dengan nada keberatannya tanpa menepis tangan Angreni yang membekap bibirnya.
"Apa...?" gumam Angreni tak percaya. "APA?! Anda mencium saya, Raden!"
"Saya tahu," jawab Panji tanpa tidak peduli sedikit pun. "Dan saya akan melakukannya lagi."
Tanpa bisa Angreni cegah, Panji menarik tangan mungil yang menutup mulutnya dan kembali melumat bibir perempuan itu. Angreni memekik tertahan dan terus memukul pundak Panji agar menjauh darinya. Namun tangannya yang lain juga ikut ditahan pria itu. Dengan mudah, Panji menarik kedua tangan Angreni hingga tubuhnya menempel semakin erat dan ciuman itu semakin dalam. Kemarahan dalam diri Angreni begitu besar hingga membuat matanya berair. Ia merasa seperti objek yang dipermainkan seenaknya oleh Panji. Pria itu menciumnya tanpa memikirkan perasaannya sama sekali.
Pertautan bibir itu terlepas dan Angreni menghirup napas sebanyak mungkin. Bibirnya bengkak, tetapi tatapan tajamnya tak beralih sedikit pun dari Panji. Pria itu tampak tidak peduli dan malah melabuhkan kecupan demi kecupan di pipi Angreni, lalu turun ke leher dan pundaknya. Jubah tipis di tubuh Angreni bahkan telah turun hingga ke sikut. Angreni tidak pernah semesra ini dengan satu pria sekali pun. Ia tidak pernah berpacaran dan hal ini adalah hal baru baginya. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benaknya jika tubuh pria ternyata sekuat dan sepanas ini. Terlebih, Angreni bisa merasakan besarnya gairah Panji padanya. Dan hal itu membuatnya semakin malu. Karena kedua tangannya ditahan, tanpa daya Angreni menenggelamkan wajahnya di dada Panji dengan perasaan malu yang tidak tertahankan. Mbak Karina pasti akan menertawainya hingga terpingkal-pingkal jika ia menceritakan apa yang dialaminya sekarang.
"Anda membawa saya kesini hanya untuk meniduri saya?" tanya Angreni dengan nada pelannya, berbanding terbalik dengan perkataannya yang tajam.
"Tidak," bisik Panji di telinga Angreni, sembari mengigitnya lembut. Bulu roma Angreni berdiri tegak dan perutnya dirayapi kupu-kupu. "Tapi jika kamu bersedia bermalam dengan saya, tentu itu akan menjadi poin tambah."
"Tidak seperti ini kesepakatan kita di awal," desis Angreni sambil menghindar dari ciuman Panji di pelipisnya.
"Sangat disayangkan," balas Panji tidak peduli sambil menggeser jarik Angreni hingga ke pertengahan paha perempuan itu. Panji tidak lagi menahan kedua tangan Angreni, melainkan langsung memeluk pinggang perempuan itu dan menggigit leher dan pundaknya. Tanpa perasaan, Panji menarik tubuh Angreni agar ia bisa merasakan perempuan itu lebih dalam. Angreni terpaksa berjinjit, membuat kakinya sedikit pegal. Bahkan ketika ia berjinjit, tingginya masih sebatas bawah hidung pria itu. Kini, dada Angreni yang feminin dan lembut menekan dada Panji yang tegap.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...