"Pak Panji... akhirnya..." ucap Angreni dengan senyuman sumringahnya sambil mengatupkan tangannya depan dada, tampak sangat lega ketika akhirnya pria itu mau membuka pintu penghubung itu dan berbicara dengannya. "Lama tidak bertemu..."
"Siapa... Ni?" ulang Panji lagi dengan nadanya yang dingin sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku.
Angreni mengibaskan tangannya, seolah memberitahukan Panji jika hal itu bukanlah hal yang penting sekarang. Dengan sigap, Angreni menarik tangan Panji untuk mengikutinya, tetapi pria itu malah tetap bertahan di posisinya. Panji malah balas menggenggam tangan Angreni dan menarik tangan perempuan itu hingga tertarik ke arahnya.
"Jawab saya," tegas Panji, membuat Angreni mengerutkan keningnya tidak senang.
"Ada lah, Pak. Itu bisa dibahas. Kita bahas yang lebih penting saja dulu," jawab Angreni dengan senyuman manisnya.
"Jadi kamu berbohong?" simpul Panji secepat kilat, membuat Angreni terdiam sesaat dengan senyumannya yang masih tidak luntur. Diamnya Angreni sudah cukup memberikan jawaban untuk Panji. Dengan helaan napas kasar, Panji menepis tangan Angreni darinya dengan kasar membuat hati mungil Angreni tersakiti. Sungguh, ia tidak paham dendam apa yang Panji simpan untuknya di masa lalu hingga bisa sedingin dan sekasar ini. Angreni saja bahkan tidak tega membunuh seekor semut, karena ia tahu semut tersebut memiliki keluarga yang menunggu di rumah.
"Saya memang benar ingin bertemu cowok, tapi nggak sampai lamaran sih, Pak," ucap Angreni dengan cengegesan, tetapi kemudian ia bisa merasakan tatapan Panji yang menggelap. Panji memajukan langkahnya mendekati Angreni, membuat Angreni mundur dengan perasaan was-was. Langkah Panji lugas dan penuh keyakinan di saat Angreni sendiri langkahnya berantakan dan berkali-kali ia hampir terjatuh. Angreni terhenti ketika pinggulnya tak sengaja menabrak penahan lukisan di belakangnya. Dan ketika ia berhenti, Pak Panji sudah berdiri menjulang di hadapannya, bahkan wajahnya saja sudah berhadapan langsung dengan dada pria itu. Wangi kayu manis yang maskulin menguar dari figur pria itu membuat Angreni menelan ludahnya.
"Ada laki-laki lain yang kamu temui selain saya?" tanya Pak Panji dengan nadanya yang datar dan tidak senang.
"Iya, jadi saya perlu Bapak untuk..." Angreni gagap, sebab ia tidak kuat ditatapi sedalam itu oleh kedua mata Panji yang setajam elang. Ujung hidung keduanya bahkan hampir bersentuhan.
"Siapa, Ni?" potong Panji tidak sabaran.
"Pak... kalau Bapak mencium saya, saya akan melaporkan ini ke Komnas Perempuan," ancam Angreni, meskipun jantungnya berdegup sangat kencang.
"Jangan khawatir, Ni. Saya tidak akan melakukan itu," gumam Panji dan Angreni bisa melihat ada bayangan senyuman miring di wajah pria itu. "Tapi kamu tidak akan senang akan apa yang saya lakukan kalau kamu tidak kunjung menjawab siapa pria yang akan kamu temui."
"Apa kontrak membeli lukisan saya juga sudah termasuk membeli kehidupan pribadi saya?" balas Angreni dengan keras hati.
Panji menatap Angreni sejenak, sebelum memundurkan tubuhnya. "Dua minggu lagi, kita berangkat."
Angreni mengerutkan kening panik. "Berangkat kemana?"
"Jika lukisan itu tidak kunjung diselesaikan, saya akan membawa kamu ke Lawu. Kita selesaikan di sana," ucap Panji sambil membalikkan tubuhnya dan ingin masuk ke ruangannya lagi, sampai Angreni berlari dan langsung menutup pintu penghubung tersebut. Panji menghentikan langkahnya dengan tatapannya yang datar pada Angreni.
"DOSBING! KETEMU DOSBING!" pekik Angreni jengkel setengah mati.
Ucapan Angreni tidak mengubah sedikit pun ekspresi Panji. Pria itu hanya mengangguk kemudian menjawab, "Oke."
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...