Pendopo kerja itu hening. Hanya terdengar suara Angraeni yang sibuk mempersiapkan alat dan bahan untuk mengobati sang raden.
Panji membuka pengait ageman rapinya perlahan demi pasti, karena rasa menusuk yang cukup asing di lukanya. Panji melepaskan kemeja putih yang bersimbah darah itu, begitu juga dengan dalaman katunnya hingga kini ia bertelanjang dada. Angraeni membasahi kain dengan air bersih dingin, lalu mendekati Panji perlahan. Tatapan Panji refleks terpaku pada Angraeni yang mendekatinya. Angraeni menempelkan kain basah itu dengan tangan gemetarnya di luka Panji. Panji mengetatkan gerahamnya, merasa sangat perih. Ia meremas meja yang menjadi sandarannya.
"Bukankah Mas kebal? Mengapa Mas bisa terluka?" Pertanyaan itu memecah keheningan di antara mereka.
"Kamu ingat ritual darah yang kita lakukan sebelumnya?" tanya Panji membuat Angreni berusaha mengingat maksud pria itu. Ketika Angreni perlahan mulai memahami ritual yang dimaksud, Panji kembali melanjutkan perkataannya, "Untuk sepenuhnya menyembuhkan luka kamu, kita harus saling terhubung. Dan karena kamu menolak berhubungan ranjang dengan Mas, terpaksa Mas melakukan ritual darah."
Panji menghela napas kasar dengan tatapannya yang kinj berlabuh pada bibir Angraeni. "Intinya adalah setelah melakukan ritual itu, kita terhubung secara jiwa dan jasmani. Kamu menjadi lebih kuat dan sebaliknya tubuh saya akan kembali seperti manusia biasa, tanpa kekebalan sakti."
"Mas... sebenarnya apa yang Mas inginkan dari atmanjiwa itu hingga berkorban sebesar ini? Menyelamatkan saya dengan mengorbankan diri Mas tentu membutuhkan alasan yang kuat," ucap Angreni dengan keteguhan hatinya. Angreni tampak begitu rapuh dan kecil dalam kebaya konstruktif itu. Rambut bergelombangnya dikepang tunggal menciptakan impresk feminin yang cantik. Panji menelan ludahnya, sebelum membuang mukanya ke arah lain.
"Dewi Candrakirana adalah alasan Mas hidup," jawab Panji singkat, padat dan jelas, membuat Angreni menyadari pria itu sepertinya tidak ingin membahas ini.
"Mengapa Mas tidak memberitahu Angraeni?"
"Mengenai apa?"
"Ritual darah itu."
Panji mendengus. "Kalau pun Mas memberitahu kamu, Angreni, memangnya apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan mengiyakan hubungan ranjang itu daripada melihat Mas lemah seperti ini?"
"Bukan begitu," sergah Angreni defensif sambil meremas kain panjang di tangannya. "Setidaknya perasaan benci Angraeni tidak akan sedalam itu."
Hening kembali membentang di antara mereka. Tatapan keduanya kembali beradu dan Angraeni bisa merasakan napasnya tercekat. Tangannya yang gemetar dan napasnya yang berat pun tak lepas dari pandangan Panji. Rambut perempuan itu dikepang tunggal dan beberapa helai terlepas, karena latihan fisik yang cukup agresif tadi. Pakaian berlatih Angraeni bahkan masih belum diganti. Bahkan dalam keadaan kacau sekali pun, Angraeni tetap terlihat begitu cantik dan menawan. Perempuan itu sangat feminin, berbanding terbalik dengan dunia Panji yang diselimuti maskulinitas. Semua dalam kehidupan Panji bersifat keras, tegas dan kasar. Angraeni hadir dalam hidupnya, memperkenalkan kelembutan, kerapuhan dan kekuatan dalam femininitas. Dan entah mengapa hal itu membuat Panji marah. Karena itu, Panji-lah yang lebih dulu memutus kontak mata dan membuang wajahnya.
Menyadari sepertinya sang raden enggan membalasnya, Angraeni melanjutkan pengobatannya dengan membungkus herbal hijau yang basah dan menekannya di luka Panji. Panji kembali mengernyit dengan napasnya yang terputus. Setelahnya, Angraeni membalut luka segar itu dengan kaim putih panjang yang bersih.
Penjelasan Panji membuat rasa bersalah dalam diri Angraeni semakin menggumpal. Pria itu ternyata tulus mempedulikannya. Angraeni selalu mengira Panji adalah seorang pria brengsek dan bajingan yang egois dan melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya. Namun, ternyata semua rencana pria itu padanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Panji ingin melindunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...