22. MALAM

8.4K 1K 97
                                    

"Yu, jelaskan pada saya, sebenarnya ritual apa yang akan saya jalani ini," ucap Angreni dengan ekspresi khawatirnya sambil menahan tangan Yu Siti yang hendak mengantarnya. Sudah lewat tiga hari penuh ia dimandikan kembang, tiba-tiba saja, Yu Siti mendandaninya dalam rupa yang sangat menawan. Rambutnya disanggul sederhana dan dipenuhi berbagai kembang dengan ronce melati yang menjuntai. Ia menggunakan kebaya putih yang sangat cantik dengan benang-benang yang seolah dipintal membentuk motif floral. Kebaya itu memeluk pas tubuhnya, menciptakan siluet feminin dan sensual. Jarik bermotif floral yang sama dalam warna cokelat klasik menjadi pemanis dari keseluruhan tampilan Angreni. 

(TOTON THE LABEL)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(TOTON THE LABEL)

"Ini adalah ritual yang sakral, Den Ajeng. Tak sekadar penyembuhan, melainkan atmanjiwa Anda akan terhubung dengan Raden Panji," gumam Yu Siti dengan nada seriusnya sambil terus mengantar Angreni keluar dari area kediamannya ke reruntuhan bangunan yang sejak kemarin terus mengusik rasa penasarannya. Senja sudah tiba. Meskipun biasanya memang langit akan selalu berwarna oranye, tetapi kali ini semburat ungu dan biru ikut terpancar. Di sepanjang tangga itu, kembang demi kembang terhampar dengan lilin menyala di setiap tangga. Angreni menapaki tangga demi tangga dengan genggaman Yu Siti yang tak lepas dari sikutnya, seolah membantunya berdiri tegak. Matanya sejak tadi jelalatan, mengamati apa yang terjadi. Angin lembut menerpa rambutnya, membelai beberapa helai yang terlepas.

Ketika akhirnya sampai, mata Angreni langsung bertemu dengan Raden Panji yang berdiri tak jauh di hadapannya dalam ageman putih, seperti yang pria itu pakai ketika berdarah. Blangkon menghiasi dahinya. Pria itu berdiri dalam segala keagungan yang sama dengan jajaran gunung megah di belakangnya. Tak jauh dari Raden Panji, Angreni melihat Nyai Segara dan Pak Arga yang berdiri dan mengamatinya. Panji mendekatinya dan mengulurkan sikutnya untuk dirangkul. Angreni menoleh pada Yu Siti dengan wajah kebingungannya dan perempuan paruh baya itu mengangguk sebagai penguatan. Dengan ragu, Angreni meraih sikut Panji hingga kini ia berdiri menghadap gunung tepat di sebelah pria itu. Tingginya yang hanya sampai di pundak pria itu, membuat Angreni merasa sedikit terintimidasi dengan Panji yang berada di dekatnya. 

Ritual demi ritual keduanya jalani dengan Nyai Segara sebagai sang pemimpin upacara. Berbagai ritual familiar yang terasa seperti pernikahan, membuat Angreni tak hentinya bertanya dalam hati apa yang sebenarnya ia jalani. Dan di setiap kecemasan itu, matanya tak berhenti menatap Yu Siti. Yu Siti akan selalu mengangguk dengan senyum keibuan, membuat kekhawatiran itu kembali surut. Ritual terakhir yang mereka harus jalani adalah mengucapkan mantra dalam bahasa Jawi kuno yang bahkan tidak Angreni paham artinya. Kini, ia sudah duduk berlutut di sebelah Panji, menghadap Nyai Segara dan gunung-gunung.

Panji yang lebih dulu mengucapkan mantra itu, sebelum akhirnya Nyai Segara mengarahkan tatapannya pada Angreni. "Ikuti saya, Angreni," ucap Nyai Segara. Lagi-lagi, Angreni dilanda perasaan cemas luar biasa. Ia seperti tengah menjalani perjanjian dengan iblis, yang mana ia sendiri tidak memahami arti dan makna dari semua ini. Angreni hening sambil menoleh pada Yu Siti. Perempuan paruh baya itu lagi-lagi mengangguk meyakinkan. Namun, kali ini, keyakinan yang diberikan itu tidak lagi bisa menguatkan Angreni. 

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang