Angreni menatap laki-laki di depannya, menolak percaya jika pria di depannya adalah seorang manusia. Pria itu dengan tenangnya duduk di kursi tinggi yang sempat ditempati oleh Mbak Karina. Panji, nama yang Angreni tidak salah dengar, duduk dengan posisi tegak sempurna, lalu memusatkan seluruh fokusnya pada Angreni. Angreni menatap teman-teman setannya yang sama-sama syok sepertinya dan kini menempel erat di dinding kanan dan kiri rumah tua itu. Lagi-lagi Angreni menatap pria di hadapannya, masih berusaha mencerna, apakah pria itu sungguh manusia ataukah titisan lelembut ataukah dukun jahat.
"Angreni, tangan kamu." Ucapan itu membuat Angreni tersentak dan baru menyadari jika ia tanpa sadar menyentuh bibir atas Panji. Angreni melakukannya bukan tanpa alasan, tetapi ia saking terlalu larut dalam kebingungannya hingga nekat menyentuh cupid's bow pria itu. Dan pria itu memang memiliki cupid's bow seperti manusia pada umumnya dan anehnya bibir pria itu terasa begitu lembut di tangannya. Panji menggenggam pergelangan tangan Angreni dengan genggamannya yang kuat dan menyingkirkannya.
"Maaf, maaf..." ucap Angreni sambil mengusap tengkuknya salah tingkah. Angreni merasa familiar dengan pria di depannya. Ia pernah bertemu dengan Panji, tetapi dimana?
"Nama kamu Angreni benar?" tanya Panji lagi memastikan ucapan Angreni dengan tatapan seriusnya.
"Iya," jawab Angreni sigap selayaknya abdi negara.
"Kamu yang melukis Senandung Segara kan?" ucap Panji sambil menyentuh kue kering di hadapannya yang sebelumnya sudah dicicipi Mbak Karina.
Angreni kembali mengangguk. "Saya yang membeli lukisan kamu, Angreni," lanjut Panji membuat Angreni kembali mengangguk, berusaha memahami ke mana pembicaraan ini akan berakhir.
"Saya ingin kamu menyelesaikan lukisan kamu." Ucapan itu terdengar seperti perintah dan ultimatum bagi Angreni membuat Angreni mengerutkan kening tidak senang akan sikap dominan Panji.
"Udah selesai kok," balas Angreni defensif.
"Lima juta setiap bulan." Tawaran itu langsung dimengerti oleh mata duitan seperti Angreni.
"Selesaiin maksudnya gimana?" tanya Angreni lagi, tidak memahami bagian mana dari lukisannya yang dinilai tidak selesai oleh Panji.
"Sepuluh juta."
"Anda menawarkan hal seperti itu, kalau saya tidak memahami maksud Anda, saya sendiri juga tidak akan menerimanya," gumam Angreni lagi dengan nada bingungnya yang terdengar jelas.
"Lima belas juta atau lupakan, Angreni."
"Oh kayaknya emang belum selesai sih," sergah Angreni tanpa berpikir panjang ketika mendengar harga sebesar itu hanya untuk revisi belaka. Siapa yang menolak tawaran emas seperti itu ketika Angreni hanya perlu merevisi sesuai keinginan pria aneh di hadapannya. Mungkin akan ada puluhan orang dengan mindset 'kaya' yang akan menghujat Angreni akan pilihannya yang tidak berprinsip itu, tetapi Angreni tahu bawah keputusannya adalah manusiawi. Manusiawi dalam arti cepat jatuh ke dalam godaan
"Oke," gumam Panji singkat, padat dan jelas, mengakhiri negosiasi itu dengan sangat cepat. "Mulai besok, kamu ke tempat saya setiap hari Angreni dan selesaikan lukisan itu. Akan ada bawahan saya yang menjemput kamu ke tempat saya."
Angreni menunggu pria itu pergi setelah menawarkan negosiasi tidak masuk akal tersebut, tetapi nyatanya Panji masih duduk di hadapannya sambil mengamati kue kering yang sempat dimakan oleh Suster Ngesot. Ketika Panji ingin memasukkan kue tersebut ke dalam mulutnya, Angreni dengan sigap langsung menahan tangan pria itu dengan cukup kuat.
"Kue ini tidak disajikan untuk saya?" tanya Panji sambil menaikkan sebelah alisnya bingung. Angreni masih sangat baik mencegah pria itu memakan kue kering tersebut, sebab jika ia jahat, sudah ia biarkan pria itu sakit dan diikuti Mbak Suster Ngesot.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA
Historical FictionRomansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tunduk pada mereka dan para leluhur menggunakannya untuk melayani sesama dan Sang Hyang. Perempuan dan la...