30. Talk About It

7.4K 222 10
                                    

Meskipun masih didera kantuk dan ditambah kencangnya angin, Anjani masih dapat mendengar jelas perkataan Daniel. Otaknya yang masih tumpul akibat baru bangun tidur seketika bekerja.

"Mau ngomong apa?" Tanya Anjani bingung. Mengapa Daniel tiba-tiba ingin bicara dengan orangtuanya? Apalagi kali ini Daniel memberitahu padanya seolah-olah ingin membicarakan hal penting. Padahal pemuda itu sudah sering bertemu dengan kedua orangtua Anjani dan mengobrol dengan mereka.

Pertanyaan Anjani belum juga mendapatkan jawaban sampai akhirnya mereka tiba di tenda salah satu penjual nasi goreng yang sudah menjadi tempat langganan keduanya.

Anjani memilih duduk dan membiarkan Daniel memesan, seraya menunggu kekasihnya itu kembali padanya dan menjawab pertanyaannya.

"Jadi?" Tuntut Anjani kembali saat Daniel sudah duduk didepannya.

"Aku cuma mau bicara tentang kelanjutan hubungan kita An." Anjani mengerutkan keningnya mendengar penuturan Daniel. Tiba-tiba saja pemuda itu membicarakan tentang kelanjutan hubungan mereka, apalagi dengan orangtua Anjani?

"Maksudnya? Kamu mau putus dari aku?" Tanya Anjani to the point. Mungkinkah karena hubungan mereka cukup baik dan Daniel telah mengenal orangtua serta keluarga Anjani maka pemuda itu ingin berpisah dengan baik-baik?

Wajah Daniel keruh saat Anjani berkata demikian ditambah dengan ekspresi datar seolah itu bukan masalah. Daniel paling anti putus dengar kata putus apalagi mengenai hubungannya dengan Anjani, tetapi dengan mudahnya kekasihnya berkata demikian.

"Ih mana ada begitu. Kamu ngomong sembarang banget sih Sayang, mana ada kita putus. Hal begitu gak akan pernah terjadi." Ujar Daniel terdengar seperti gerutuan.

"Ya terus? Maksud dari kelanjutan hubungan itu apa?" Tanya Anjani lagi, meminta hal yang lebih jelas.

"Ya kelanjutannya, jadi hubungan lebih serius."

"Bertunangan? Menikah?" Tebak Anjani lagi. Daniel menganggukkan kepala, membenarkan tebakan kekasihnya itu.

"Belum juga lulus SMA sudah ngomong kearah sana. Perjalanan kita masih panjang Daniel, kamu juga mau kuliah kan?"

"Kamu enggak mau kuliah?" Bukannya menjawab, Daniel malah balik bertanya padanya.

Anjani mengangkat bahunya pelan, "aku belum tau. Tapi orangtuaku sepakat tidak membiayai aku untuk kuliah."

Daniel melebarkan matanya tak percaya, ia bahkan tak tahu tentang hal itu. "Sejak kapan mereka bilang?"

"Aku gak ingat, mungkin sewaktu kita sedang sibuk dengan les tambahan." Ujar Anjani santai sambil mengingat kapan tepatnya orangtuanya berbicara demikian padanya.

"Kenapa gak cerita sama aku?" Daniel tampak kesal sekali pada Anjani yang tidak bercerita apapun padanya. Padahal menurut Daniel hal itu adalah suatu hal yang penting.

"Kayaknya waktu itu kamu lagi sibuk banget deh, terus akhirnya aku lupa. Ini baru ingat lagi."

Melihat kekasihnya yang begitu santai menyeruput es teh yang baru tiba di meja mereka, Daniel hanya bisa menghela nafasnya berusaha untuk tidak terlalu marah. Daniel yakin sekali saat itu Anjani pasti sedang kondisi yang tidak baik-baik saja dan bingung, dan di saat itu ia sebagai kekasihnya tidak tahu apapun karena sibuk bekerja. Daniel seketika merasa gagal.

"Terus rencana kamu kedepannya gimana Sayang?"

"Palingan aku kerja, terus kalo masih ada niat mau kuliah sambil kerja." Hanya itu yang ada di pikiran Anjani saat ini. "Kalau pun gak keduanya, aku palingan di rumah aja. Jadi beban keluarga." Secara blak-blakan ia lempar mentah-mentah rencananya pada Daniel yang kini menayap dengan tatapan rumit.

"Bagaimana kalau kita menikah?"

Kali ini Anjani yang menghelakan nafasnya, "Daniel. Menikah bukan perkara gampil, apalagi menikah muda."

"Mungkin sekarang kamu merasa bisa handle semuanya, tapi setelah menikah aku yakin kamu pasti bakal pusing banget. Belum urus kerjaan, kuliah juga pernikahan. Kita belum siap untuk itu." Anjani berusaha sekali untuk memberikan pengertian pada Daniel.

Pembicaraan mereka kemudian di interupsi oleh pesanan yang datang. Baik Daniel maupun Anjani menikmati makan malam mereka tanpa bicara. Baik Anjani maupun Daniel, dalam diamnya sibuk berpikir masing-masing yang tentunya saling bertolak belakang.

Setelah makan pun keduanya masih belum bicara, Daniel tidak membawa Anjani untuk pulang dan memberhentikan motornya di lapangan yang biasanya menjadi tempat tongkrongan anak muda sekitar untuk berbicara lebih leluasa.

Daniel mulai dengan mengajak Anjani duduk dan menggenggam kedua tangan kekasihnya itu. "Sayang, kamu gak benar-benar cinta ya sama aku?"

"Kalo pun begitu, aku gak bakal mau pacaran lama sama kamu." Balas Anjani cepat. Tapi bukan itu jawaban yang Daniel inginkan dari Anjani.

"Jadi cinta?" Tanya Daniel lagi meminta jawaban lebih rinci. Anjani menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan itu.

"Jangan ngangguk aja, kamu cinta atau enggak sama aku?" Tanya Daniel lagi.

"Iya cinta." Jawab Anjani dengan nada agak kesal.

"Iya cinta apa? Sama siapa?" Daniel benar-benar merasa gregetan, tetapi begitu juga dengan Anjani yang kesal dengan Daniel.

"Iya, aku cinta sama kamu. Puas?" Daniel tersenyum lebar mendengar ucapan Anjani yang terdengar sangat jelas ditelinganya, meskipun agak kesal dengan ujung kalimat yang seolah-olah paksaan padahal sebenarnya iya.

"Kalo gitu kenapa gak mau nikah sama aku? Aku cinta sama kamu, kamu juga cinta sama aku. Kita sudah saling cocok dan aku sudah punya penghasilan yang cukup. Apa yang buat kamu ragu?"

"Daniel, Sayangku, Cintaku, Pacarku yang ganteng dan pintar. Menikah bukan cuma perkara cinta dan ekonomi yang cukup. Tapi juga kesiapan mental. Semua orang selalu berharap untuk hanya menikah sekali seumur hidup. Sedangkan seumur hidup terlalu lama untuk suatu hal yang belum dipersiapkan dengan baik. Kesannya terlalu terburu-buru."

"Sekarang kamu cinta sama aku, begitupun aku dengan kamu. Tapi dua tahun yang akan datang? Sepuluh tahun yang akan datang? Hati manusia mudah berubah. Begitupun dengan kecocokan, bisa tiba-tiba jadi bentrok."

"Masa depan kita masih panjang Daniel, kamu dan aku masih punya hal lain yang perlu dilakukan untuk diri kita sendiri." Anjani terdiam ketika dirasa semua yang ingin ia katakan sudah ia katakan. Ia harap Daniel bisa mengerti dan tidak lagi bersikeras membicarakan tentang pernikahan.

Mata Anjani terus menatap mata Daniel yang tak sekalipun mangkir menatapnya. "Setelah bertemu kamu, aku merasa aku punya masa depan Anjani. Percaya atau enggak, cuma kamu masa depan yang aku punya."

"Daniel..." Sekarang Anjani tidak tahu harus berkata apa. Itu bukanlah kalimat yang Anjani prediksi akan Daniel lontarkan padanya.

"Anjani, kamu mau tau kenapa aku bisa disini?" Anjani tidak menjawab ya atau tidak. Karena sedari awal Anjani sudah berjanji pada dirinya tidak akan pernah mengorek informasi apapun tentang Daniel kecuali pemuda itu sendiri yang memberitahukan padanya.

"Aku dibuang An, aku aib keluargaku." Daniel berkata lirih, bahkan suaranya terdengar seperti bisikan.

Vote and Comment Guys!!!

I'm Your LoverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang