Author's POV ...
Seorang pria berjalan di dalam bangunan baja yang terlihat kokoh. Beberapa orang terlihat melakukan aktivitas seperti memperbaiki sudut bangunan yang mengalami retak walau hanya berdiameter kecil.
Dia menaiki sebuah lift kaca ke pusat dari bangunan itu. Setelah keluar, pria itu berjalan memasuki sebuah ruangan. Semua dilapisi baja untuk memastikan tempat itu aman.
"Lihat siapa yang baru saja datang." Ucap seorang wanita.
Pria itu berjalan kearah sekelompok orang yang sedang duduk di sebuah meja panjang.
"Dari mana saja kau, Minho?" Tanya Jorge.
"Tak seperti biasanya. Kau meminjam pesawat untuk apa?" Tanya frypan.
Minho menarik nafas lega, menatap mereka satu persatu lalu tersenyum.
"Hari yang cukup indah, bukan?." Ucap Minho dengan senyum diwajahnya.
Tak bisa dipungkiri, menemukan orang yang dia cintai hidup-hidup adalah hadiah terindah yang pernah sang maha pencipta berikan padanya. Rasa campur aduk yang dia rasakan hari ini cukup membayar lima tahun yang dia lalui tanpa Cessie.
Nick adalah tanggung jawabnya sekarang. Memikirkan bahwa dia adalah seorang ayah, membuat Minho semakin berpikir positif untuk masa depan. Namun-
"Mereka menunggumu dan Luna." Ucap Thomas berbisik disamping Minho.
Seketika senyuman itu pudar. Mata yang awalnya memancarkan kebahagiaan sekarang berubah menjadi tatapan mematikan.
Minho seketika menatap Luna yang menatapnya dengan tatapan puas. Brenda berdiri dari kursinya.
"Aku akan ke ruangan grup B. Aku ingin menemui Gally." Ucap Brenda keluar begitu saja.
Mereka dibagi menjadi 2 grup. Yaitu Grup A dan B. Ada beberapa grup lainnya tapi yang lebih unggul adalah grup A dan B, hanya saja anggota grup B hanya sedikit.
"Carol memang gila." Ucap Jorge.
Yah, Carol adalah ketua yang menjalankan organisasi ini. And guess what? Jorge adalah wakilnya. Sejak awal tiba di safe Haven, wanita gila itu yang kira-kira berusia sama dengan Ava, tiba-tiba mengangkat Jorge sebagai wakilnya dan Vince sebagai bawahannya.
Memang, tahun-tahun ini sangatlah buruk. Mereka harus mempercayai organisasi tersebut semata untuk bertahan hidup. Safe Haven telah hancur, diluar sana, makanan dan minuman sangat sulit ditengah apocalypse yang terjadi. Tak ada pilihan lain selain menerima tawaran mereka. Setidaknya jauh lebih baik jadi Wicked dimasa pimpinan Ava. Minho berdiri dari kursinya dengan wajah yang datar menatap Luna.
"Apa yang kau tunggu? Jangan membuang waktuku. Aku punya urusan yang lebih penting dari pada ini." Ucap Minho menarik nafasnya lalu berjalan mendahuluinya.
Luna mengikuti Minho, setengah berlari agar tubuhnya sejajar dengan Minho.
"Tak bisakah kau bersifat baik padaku?" Tanya Luna.
Minho tampak menatap lurus tanpa menoleh kearah gadis itu.
"Minho, kenapa kau menahanku semakin lama? Aku tak ingin jatuh cinta padamu hanya karena misi yang creator ciptakan." Ucap gadis itu.
Minho menghentikan langkahnya, menatap Luna dengan tatapan yang tajam. Kapan terakhir kali Minho menatap Luna dengan tatapan itu?
"Luna, kau benar-benar berpikir aku menahanmu? Kau pikir kau bisa mengendalikan perasaanku? Kau juga berpikir bahwa aku ingin kau jatuh cinta padaku agar aku lebih lama menikmati mu?" Ucap Minho frustasi.
"Satu hal yang perlu kau ingat. Aku tak bisa menolak semuanya karena obat yang mereka berikan padaku. Aku melakukan itu bukan karena hasratku sendiri. Anggap saja kau melakukan itu dengan boneka dari creator. Mereka mengendalika hasratku, membiarkanku berperang melawan pikiran bawah sadar." Minho menahan napas, mencoba mengendalikan emosinya.
Bagai sebuah pedang yang menusuk hati Luna, gadis itu merasakan satu hal yang membuatnya sakit.
"Setidaknya aku juga sama sepertimu. Kau tak bisa mengontrol perasaanku. Aku mencintaimu. Aku tau ini bodoh tapi mereka membuatku jatuh cinta pada pria sepertimu." Ucap Luna dengan mata yang sembab.
"Kau tak mengerti, Luna. Aku tak ingin melihat anakmu tumbuh sebagai subjek eksperimen. Aku tak ingin mereka mengalami apa yang aku alami. Jika aku membuatmu hamil, anak itu bukan hanya anakmu, tapi juga anakku. Aku akan merasa bersalah jika membiarkan mereka tersiksa. Dan aku benci mengakui, tapi aku khawatir dengan apa yang bisa terjadi pada mereka. Sialan, kenapa harus aku yang menjadi Pure Immune? Entah ini kelebihan yang patut kusyukuri atau kutukan yang akan terus menghantui keturunanku." Minho merasakan kelelahan dan frustrasi yang mendalam.
Memikirkan dirinya dan Luna, Cessie dan Nick tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Mungkin Minho harus memalsukan kematiannya saja lalu pergi ke kota Crank dan hidup bersama Cessie dan Nick. Tapi, jika dia melarikan diri, dunia tetap akan sama, kemungkinan terbesar adalah lebih buruk dari sekarang.
Minho dilema dengan situasi dan kondisi yang ada. Apa dia harus melakukan apa yang Wicked usulkan? Atau harus mengorbankan Nick? Tidak.
"Aku tak tahan, Luna. Aku juga ingin ini segera berakhir. Aku hanya ingin menjadi seorang ayah yang baik bagi anak-anakku kelak. Aku ingin memberikan mereka kehidupan yang normal, tanpa ancaman dan kegelapan yang selalu mengintai.." Ucap Minho melembut.
Luna terdiam mendengar perkataan Minho, menyadari seberapa besar beban yang dipikul Minho. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, begitu juga dengan perasaan Luna. Dia terlanjur mencintai pria yang bekerjasama dengannya. Lagian kenapa harus bekerja sama dalam perkembangan manusia imune? Mereka bisa saja memeras semua yang ada pada Minho, tapi Minho adalah 0.0000001% pure Imune yang mereka temui. Satu-satunya cara adalah memperbanyak keturunannya. Sejauh ini, Minho belum memberikan apa yang creator mau. Dia masih memikirkan cara lain tanpa harus membunuh nyawa seseorang.
Minho dan Luna tiba di ruangan yang penuh dengan monitor canggih. Wanita paruh baya duduk dihadapan mereka.
"Akhirnya kalian datang juga. Duduklah." Ucap wanita itu.
"Jadi, bagaimana? Apa yang sebenarnya kau tunggu? Kalian bahkan sudah mengecek segala penjuru dan tak ada anak yang imun. Satu-satunya cara adalah usulan yang aku beri pada kalian." Ucap Carol.
"Yeah, aku sudah memberitahunya tapi dia benar-benar keras kepala." Ucap Luna kesal. Carol menatap Minho.
Minho menatap Carol dengan tatapan sinis dan frustasi.
"Semuanya ada di tanganmu, lebih cepat, lebih baik. Aku butuh keturunan pertamamu, maka sisanya akan tetap hidup. Ini satu-satunya cara dari beribu cara yang ada." Ucap Carol.
"Oh, tentu saja. Semua ada di tanganku, kan? Maafkan aku, tapi aku tidak tahu bahwa aku menjadi sorotan dunia dan memiliki kemampuan itu."
Minho menghela nafas, mencoba menenangkan dirinya.
"Kau bilang ini satu-satunya cara, ya? Tapi apa kau yakin ini benar satu-satunya cara? Apa kau sudah mencoba semua kemungkinan lain sebelum mencapai kesimpulan ini?"
Minho memandang Luna yang terlihat kesal dengan dirinya.
"Luna, kau tahu betapa keras kepala diriku. Tapi apa kamu mempercayai usulan Carol ini? Apakah kita benar-benar harus melakukan ini demi kelangsungan hidup yang lain?"
Luna menggigit bibir bawahnya, ragu namun juga berusaha memahami situasi yang rumit.
"Sejak kapan? Kenapa tak dari dulu kau mengatakan itu. Kupikir kau sudah setuju dari lima tahun lalu. Bahkan saat kau bekerjasama dengan Ava kau sempat mengiyakan hal itu." Ucap Carol.
Minho menatap Carol dengan tatapan tajam, masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Terima kasih masih stay dicerita ini. Semoga kalian suka. Mohon maaf apabila ada kata tidak baku yang terselip dikalimat baku, ataupun sebaliknya. Jika berkenan, bantu correct typo ya.
Tell me anything about your feeling when you read this chapter.
Comment if you like it. (✿ ♡‿♡)
KAMU SEDANG MEMBACA
Surviving Shadows - Book 4 (Minho Fanfic - TMR)
FanfictionDi antara reruntuhan kota terakhir, seorang gadis menemukan dua jiwa yang terbaring tak berdaya, dengan sedikit detak nadi yang masih terasa. sebelum pasukan Wicked membersihkan kota dari para Cranks, gadis itu memutuskan membawa dua tubuh tak berda...