Windy POV
Rasanya sudah habis mengering air mataku, melihat sosok yang selalu bisa kuandalkan begitu pasrah terbaring dengan peralatan medis di mana-mana.
Tangannya tidak pernah ku lepas, pipi dan keningnya tak habisnya ku usap. Rapalan doa juga tak henti ku tuturkan dalam batin.
Operasi patah tulang sudah selesai dan dokter menyatakan berhasil. Walaupun masih harus melalui banyak terapi untuk bisa kembali seperti semula, setidaknya perkembangan baik terus mendatangi runguku.
Hubunganku dengan kak Nana entah bagaimana keadaannya sekarang. Dia dan teman-temannya datang setiap hari untuk menjenguk sang sahabat, tidak sedikitpun aku ingin bicara padanya. Bukannya marah, aku hanya tak ingin semakin membuat jagoanku ini kecewa.
Sudau terhitung tiga hari aku tak pulang, sudah terhitung tiga hari pula jagoanku ini tertidur. Kulupakan segala urusan kuliah dan organisasiku, aku ingin terus berada di sisinya.
"Aa jangan tidur terus"
"Adek kangen sama Aa, Aa tolong bangun"
Aa yang selalu menjagaku, menjadi malaikat pelindungku setelah ayah, ibu, dan abang. Aa adalah orang pertama yang siap menghadapi apapun dan siapapun yang membuatku sakit atau jatuh.
Aa Ekal adalah kakak terbaikku. Jadi Tuhan, tolong kembalikan dia padaku. Aku berjanji akan mengorbankan apapun agar dia kembali seperti semula. Namun, jika Engkau menyayanginya seperti Engkau menyayangi ayah, maka tuntun aku menuju keikhlasan, Tuhan.
"Adek"
Aku menoleh, malaikatku yang lain berdiri di ambang pintu. Masih lengkap dengan baju kerjanya di jam delapan malam ini. Akhir-akhir ini dia bekerja lebih keras demi keluargaku bisa bersama mendampingi Aa.
"Ayo, temenin kakak makan malam"
Pintanya begitu lembut. Dia orang baru dalam hidupku, orang yang dipersunting abangku untuk menjadi istrinya. Entah jiwa apa yang Tuhan berikan padanya, kenapa dia benar-benar seperti malaikat untukku.
"Ibu? Abang?" tanyaku
"Ibu sama abang lagi pulang ke rumah, mau ambil keperluan. Adek makan sama kakak dulu ya"
Aku mengangguk dan meraih tangannya yang terulur untuk menggandengku. Genggaman tangan yang paling kusuka ini lebih sering kurasakan akhir-akhir ini, dia begitu lembut dan menenangkan.
Dia menuntunku menuju foodcourt rumah sakit yang sudah mulai sepi. Kukira, dia akan memesan makanan di sana, rupanya dia membawa dua bungkus bento dari restoran kesukaanku. Tak lupa berbagai lauk tambahan yang satu persatu dia taruh di meja.
"Kata abang, adek suka bento, jadi kakak beliin ini" ujarnya semangat
Senyumku mengembang kemudian. Aku buka kotak milikku dan mulai kusantap sedikit demi sedikit. Nafsu makanku sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dan itu semua berkat perempuan cantik di depanku ini, dia yang selalu memastikan aku makan dengan baik.
Suasana food court itu sudah sunyi, hanya tinggal beberapa outlet saja yang masih buka, sisanya sudah kosong. Yang makan di meja pun hanya satu dua orang, biasanya di sini akan penuh dengan dokter, perawat, karyawan, maupun keluarga pasien.
Makanan ini aku kunyah dengan nikmat sekali, rasanya seperti sudah lama tidak makan. Atau karena lelahnya tubuhku membuat nafsu makanku berada di puncak.
Aku jadi ingat dengan Aa, apakah makanan dari selang-selang itu cukup menuntaskan laparnya? Biasanya Aa banyak makan, apapun bisa masuk ke perutnya tanpa henti, apakah Aa kelaparan?
"Kak" panggilku
"Hm"
"Kakak sama abang kalau nanti punya anak, pengennya cowok atau cewek?" tanyaku random
Hal ini juga sering dibahas Aa sepulang dari Bali Dia senang dengan Flora sampai terus membahasnya dan membayangkan jika nantinya dia punya keponakan sendiri.
"Ehm, kalau kakak sih apa aja ya, tapi kalau abang pengennya cowok-cewek gitu, biar sepasang. Bebas deh yang mau lahir duluan yang mana, katanya gitu"
Tawaku pecah seketika, nada bicara kak Aurel benar-benar terdengar lucu menirukan suaminya.
Seusai tawa, rasanya mataku kembali panas. Ada gejolak rasa yang ingin segera ku tumpahkan bersama ribuan tanya yang menguasai kepalaku akhir-akhir ini.
"Aa... pasti bangun kan, kak?" akhirnya tanyaku mengudara bersamaan dengan gerakan kak Aurel yang mendadak berhenti
Aku tak butuh jawaban. Karena baik aku maupun kak Aurel hanyalah manusia yang tak dapat menjawab dan hanya bisa berharap. Aku hanya ingin menuntaskan suara-suara di kepala yang minta dikeluarkan.
"Adek—"
"Adek paham, kak, adek paham banget. Kita nggak ada yang tahu gimana besok atau lusa, jadi adek cuma bisa berdoa kan?" potongku dalam satu nafas
Sorot iba bisa kutangkap dari mata indah itu. Rasanya memang sudah lelah mereka menyuruhku untuk berdoa, hingga sudah tak punya kata lagi untuk diucapkan padaku.
"Adek tahu nggak sebesar apa kekuatan doa?" tanyanya lembut
Aku mengangguk pelan, "Tahu, dulu pas kecil, ayah sering cerita ke adek sama Aa"
"Iya, sebesar itu, dek, jadi adek banyak-banyak berdoa aja ya"
Benar, sebesar itu kekuatan doa. Sebesar itu pula kekuatan Tuhan mengubah dunia. Aku paham sekali tentang itu, tapi...
"Tapi kalau Tuhan udah menakdirkan hal buruk, dunia rasanya jahat banget ya, kak?"
Kak Aurel tertegun. Dia seperti sudah tak mampu lagi menjawab tanyaku. Aku hanya berusaha bersiap-siap untuk segala kemungkinan buruk agar tidak terkejut seperti saat ayah pergi.
Meskipun wujud ikhlas bagaimana pun tak pernah ku tahu, setidaknya aku sadar untuk tidak menahan seseorang untuk selalu di sisiku.
Aku pasrahkan semuanya pada-Mu, Tuhan. Namun, tolong, jika aku masih punya kesempatan, izinkan aku untuk meminta maaf secara langsung pada kakakku.
"Adek" panggilnya tiba-tiba, raut wajahnya berubah dari sendu jadi senyum ringan
"Iya, kak"
"Kemarin pas abang baru sampai di rumah sakit, kakak minta abang buat tenang dan kuatin diri sebelum ketemu kamu. Terus pas ibu juga sampai rumah sakit, abang lakuin hal yang sama. Sekarang, kakak mau minta adek buat kuat ya?" ujarnya
Aku tak bereaksi apapun, aku hanya mencerna setiap kalimat yang akan dia tuturkan setelahnya.
"Abang sama ibu sama terpukulnya sama adek, abang nangis sama kakak, ibu juga pingsan di depan kakak. Jadi, kakak minta, adek juga harus kuat ya? Ibu, abang, kakak, dan adek, kita harus saling menguatkan"
Aku mengangguk singkat, seiring setetes air mata lolos dari pelupukku. Benar katanya, aku sudah takut saat pertama kali abang datang, aku takut abang akan meledak-ledak seperti saat aku sakit. Namun, rupanya tidak.
Begitu pula dengan ibu, aku sudah takut ibu akan memakiku, menyalahkan diriku atas semua yang terjadi. Dan rupanya tidak pula. Keduanya malah menenangkanku, menguatkanku, menyampaikan berbagai afeksi untukku tidak menyalahkan diri lagi.
Aa, adek akan terus kuat buat Aa. Ibu dan abang juga akan terus kuat. Jadi, ayo, bangun, A'! Ayo, kita berjuang bersama-sama lagi, A'! Adek sayang Aa.
-
-
-
-Sorry kalau kependekan, tapi jujur, ini nulisnya sambil nangis. Dah ya, bye
KAMU SEDANG MEMBACA
Meeting You Was A Nice Accident || Kim Doyoung & Kim Sejeong
FanfictionKau tahu, di antara banyaknya teori komunikasi yang ada di dunia ini, ada satu teori bernama teori penetrasi sosial, dimana teori tersebut membahas proses pembentukan relasi atau hubungan ketika individu beranjak dari komunikasi yang superfisial ke...