Perhatikan urutan bab sebelum membaca!!!
Biasakan meninggalkan jejak komentar dan vote pada setiap cerita yang kalian baca.
Karena itu tidak akan menjadi kerugian untuk kalian!!!!
__________"Bu... Yah..." Begitulah keseharian Meira sekarang, terkadang ia merasa prustasi dan dilema secara bersamaan saat Taera lagi-lagi mengulang kalimat itu untuk kesekian kalinya dan diakhiri dengan rengekan tak berkesudahan.
"Ayah kerja sayang." Hanya kalimat itu yang bisa ia ucapkan. Tanpa peduli Taera akan mengerti atau tidak.
Apakah ia egois?
"Mbu... " Meira menghela nafasnya lelah, saat Taera kembali merengek.
Sudah satu Minggu semenjak Taehyung kembali, Taera selalu merengek hal yang sama padanya.
Pertemuan singkat keduanya ternyata langsung mampu mengikat ikatan batin antara ayah dan anak. Sehebat itu memang kuasa tuhan.Perpisahan lama ternyata tak mampu menghapus ikatan yang memang sepatutnya terjalin.
"Kita telpon uncle ya sayang." Meira menawarkan hal yang biasanya menggiurkan bagi Taera. Menelpon Jimin atau Yoongi untuk membawa Yoonji dan Yuna agar bermain bersama Taera dan biasanya itu berhasil.
"Mbu... Yah." Tapi kali ini rayuan itu tak mempan, entah terlalu bosan atau memang Taera serindu itu pada Taehyung.
Hingga tangis Taera akhirnya pecah, dan saat inilah Meira tak bisa melakukan apapun.
Taera bukan bayi yang mudah untuk di tenangkan, ia akan terus merengek sampai keinginannya terpenuhi.
Ternyata Taehyung tak hanya mewariskan rupanya pada Taera tapi juga sifatnya sama persis seperti sang ayah.
.
.
.
Akhirnya, setelah lebih dari dua jam Taera menangis dengan merengek meminta hal yang sama, balita mungil itu tertidur lelap. Meski sesekali ia masih menggumamkan hal yang sama dalam tidurnya.Lihatlah, efek kehadiran Taehyung dalam hidupnya. Lelaki itu bahkan mengikatkan dari segala arah agar ia tak bisa pergi dari ruang lingkup tentang lelaki itu. Bahkan putri yang ia kandung sembilan bulan pun memihak sang ayah meski usianya masih sangat kecil.
Lagi-lagi Taehyung menunjukkan sifat dominan atas dirinya meski secara tak langsung.
.
.
Pagi-pagi sekali Meira sudah kelimpungan menghubungi nomor Jimin saat tubuh Taera tiba-tiba mengalami demam tinggi.
Hingga membuat dokter muda di sebrang sana juga ikut panik."Meira, jangan panik!" Omong kosong yang Jimin ucapkan pada Meira tapi tak ia lakukan.
"Kompres Taera dengan air hangat, dan aku akan segera ke sana." Ucap Jimin sembari membereskan peralatan dokternya dan beberapa obat yang bisa di konsumsi Taera.
"Baik Jim, aku akan lakukan." Ucap Meira sebelum menutup sambungan telponnya.
Taera nampaknya belum cukup untuk membuat Meira merasa bersalah.
.
.
"Dia hanya demam biasa, berikan obat ini sesuai resep yang sudah aku berikan. Jika dia mau makan itu lebih baik tapi jika tidakpun tak apa asi pun sudah cukup." Ucap Jimin setelah memeriksa Taera.Taera yang bisanya sangat antusias saat bertemu dengannya kini hanya sesekali tersenyum tipis tanpa minat untuk masuk kedalam gendongannya.
Meira kemudian meraih tubuh Taera untuk ia gendong setelah bibir mungil milik Taera kembali merengek.
"Mbu... Yah... " masih rengekan yang sama, namun sekarang dengan suara yang terdengar lemah.
Jimin beradu pandang dengan Meira, sebelum ia menghela nafas dan memilih berjalan menuju ruang tamu untuk mendudukkan dirinya di sana yang ternyata di ikuti Meira dengan Taera yang masih dalam gendongannya.
"Kau tak berniat mempertemukan mereka lagi Mei." Ucap Jimin kemudian.
Sementara Meira terdiam merasa kembali dilema, belum mampu meruntuhkan egonya sendiri bahkan di saat Taera sudah seperti ini.
"Jika kau tak mau kembali padanya tak masalah Mei, itu hak mu. Tapi jangan libatkan Taera dan menyiksanya dengan keegoisan kalian. Dia tetap butuh ayahnya." Ucap Jimin kemudian.
"Aku bingung Jim." Ucap Meira pelan.
"Tapi kau akan lebih bingung bila Taera terus seperti ini, lupakan sejenak masalah dan ego kalian. Tak banyak yang Taera minta dari kalian hanya sebuah waktu dimana ia bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga." Kalimat Jimin terasa menghunus tajam pada sisi hatinya memecah ego yang sedari tadi terasa menjadi benteng.
"Berpikirlah kembali, kalian tak harus kembali jika tak lagi menemukan kecocokan tapi Taera tetap butuh kalian sebagai orangtuanya."
"Tapi bagaimana dengan Oma?" Tanya Meira ragu, takut hal yang tak di duga-duga justru terjadi.
"Oma tidak pernah berniat memisahkan kalian, ia hanya memberikan waktu untuk kalian berpikir." Lanjut Jimin.
.
.
Lama Meira terdiam terus mencerna kalimat-kalimat jimin yang perlahan terus mengusik ketenangan otaknya.
Sedari tadi dia hanya menatap bimbang pada satu kontak yang tadi Jimin berikan."Hubungi dia jika kau sudah berhasil meruntuhkan ego mu. Dia pasti akan segera datang untuk menemui putrinya. Aku tak memaksamu untuk kembali padanya. Tapi aku memaksamu untuk membiarkan Taehyung tetap menjadi ayah Taera." Ucap jimin sebelum lelaki itu benar-benar beranjak pergi.
___________
Sementara itu, di tempat yang lain Taehyung kembali merasakan kekosongan pada dirinya.
Pertemuan kemarin bersama istri dan anaknya ternyata hanya semakin membuat hidupnya tak karuan menahan rindu.Bahkan tak terhitung sudah berapa kali ia mengumpati dirinya di masa lalu. Andai dan andai kata itu terus terulang.
Adai ia tak menyia-nyiakan Meira saat itu, mungkin saat ini ia tengah tertawa lepas bersama keluarga yang utuh.
Taehyung sendiri merasa heran, bagaimana bisa ia sebrengsek itu di masa lalu.
Kemana kewarasannya beberapa tahun lalu.Saat tengah asik dengan pemikirannya, tak lama ponsel milik Taehyung berbunyi menunjukkan sebuah nomor tak di kenal menghubunginya.
Awalnya ia hanya bersikap acuh tak berniat menekan tombol hijau, hanya pada panggilan ke lima Taehyung merasa risih dan mencoba untuk menjawab panggilan itu."Ha-lo." Hingga suara yang terasa tak asing terdengar, Taehyung terdiam sesaat untuk mengingat dimana ia pernah mendengar suara itu.
"Taehyung." Hingga suara itu kembali terdengar.
"Siapa?" Lebih baik bertanya dari pada harus selalu menerka-nerka pikirnya.
"A-ku mei-ra." Suara itu semakin terdengar tergagap di ujung sana.
Berbeda dengan Taehyung yang tercengang, kembali tenggelam dalam pikirnya menerka-nerka alasan apa kira-kira yang membawa Meira menghubunginya."Tae kau masih di sana?" Ucap Meira karena tak mendapatkan respon.
"I-ya Mei ada apa?"
" apa kau sibuk?" Meira balik bertanya.
"Tidak mei, aku tak sibuk. Memangnya ada apa?" Taehyung sungguh di buat semakin penasaran.
"Bisa kau datang ke Seoul. Ah maksudku, Taera demam dan dia terus memanggil namamu." Ucap Meira cepat.
"Tapi jika kau sibuk dan banyak pekerjaan tak ap-"
"Tidak, aku bisa. Aku akan segera berkemas dan akan segera ke sana." Ucap Taehyung cepat memutus kalimat Meira.
"Ah iya, terimakasih sebelumnya."
"Tak perlu berterima kasih Taera juga anakku jika kau lupa." Ucap Taehyung kemudian.
"Baiklah. Aku tutup Tae."
"Iya." Kata itu menjadi penutup obrolan keduanya.
Dan tak ada waktu bagi Taehyung untuk berpikir, tak peduli sebanyak apapun pekerjaannya. Taera lebih penting dari itu semua. Putrinya sedang sangat membutuhkan dirinya sekarang.
Jadi Taehyung segera berkemas untuk segera pergi menemui putri tercintanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Pembalasan Dendamku (Revisi)
Fanfiction"kau milikku! Aku tak memberikan penawaran tapi sebuah keputusan!" _kim Taehyung _