44. Be Free

45 4 2
                                    

Selama tiga hari lamanya keadaan Nana tidak kunjung membuahkan hasil apapun dan pencarian para penumpang kapal Bima Sakti juga belum juga menemukan titik terang. Korban yang ditemukan hanya Bunda seorang tanpa yang lain.
Kekhawatiran yang Ayah rasakan sekarang jauh lebih membuncah daripada sebelumnya yang masih terbilang labil. Namun sekarang?

Ketakutannya terhadap luas dan dalamnya lautan sudah menjadi satu dalam benak kesatria miliknya yang sudah dilatih selama bertahun-tahun.

“Ayah gak tau harus apa di depan kamu, Na. Ayah takut, takut sekali. Maafin Ayah yang belum bisa jadi ksatria buat keluarga kita. ” ya, itulah ucapan penuh dengan getaran putus asa selalu terlontar dari sosok  Bintang Nasution yang selalu terlihat tegas dan gagah , namun disaat seperti inilah dirinya menjadi sosok paling lemah.

Tautan yang masih terjaga itu membuat hati Irene yang sebagai istrinya dan sekaligus menjadi sosok ibu dari Nana memberikan kesan berupa rasa amat kehilangan dan juga takut kehilangan dengan sang sulung yang tak lain adalah Tama.

“Yah, jangan gitu terus, nanti Nana marah loh.. Ayah kan kuat, super hero nya Nana sama yang lain. Jangan terus berlarut-larut, nanti abang juga males ketemu kamu, kalo kamunya gak berhenti nangis. ” ucapan meledek dari sang istri membuat dirinya terhibur walaupun hanya sebentar, namun itu bagi Bintang sudah sangat berarti.

Ayah langsung memeluk tubuh Bunda dengan perlahan dan berterimakasih pada sosok ayu yang selalu memahami semua kekurangan dan kelebihan darinya “makasih ya sayang. Aku titip anak-anak ya.. ”

Irene mendekat kearah Nana dan mengecup perlahan dahi yang selalu dirinya cium selepas selesai bertugas “anak baik dan kesayangannya Bunda, cepet sembuh ya.. Abang dan yang lain kangen sama kamu. Nana janji kan, sama Bunda kalau ada apa-apa peluk ke Bunda, tapi, ko kamu gak bales pelukan Bunda.. Padahal Bunda kangen tau.. ” monolognya pada sang anak yang masih setia terpejam.


Pencarian kapal Bima Sakti sudah menginjak waktu hampir empat hari lamanya, namun tak ada tanda-tanda jika semua kru ataupun penumpang selamat, terkecuali Bunda seorang yang berhasil Nana temukan. Keadaan semakin di keruh dengan jatuhnya Ayah di kasur, alias sakit.

  Abi yang memimpin pencarian itu beserta jajarannya, tak ada perubahan yang serupa dengan hari sebelumnya. Dirinya sangatlah prustasi dengan situasi yang semakin genting. Siang dan malam dirinya gunakan sebagai berdoa memohon keselamatan untuk sang sulung dan sang putri yang masih setia memejamkan matanya.

.......

  Di tepi penghujung pantai, ada dua sosok yang tengah berdiam diri sembari menikmati semilir angin kencang dan pemandangan matahari tenggelam yang menjadi dambaan semua orang, termasuk pun seperti Jisung dan Yuta.

   Keduanya tak berbicara apapun, hanya tatapan kosong yang terus terlontarkan pada derasnya ombak. Hening bercampur semerbik aroma lautan cukup membuat keduanya terbawa suasana, apalagi keduanya sedang dilanda satu permasalahan besar.

  Hembusan nafas panjang dan gusar dari Jisung memantik tanda tanya dari Yuta “gua takut, Nana kedepannya tertutup dan gak mau ngomong apa-apa ke gua. Gua takut gak bisa meluk dia lagi.” monolognya dengan berupaya tegar.

   Anggukan dari Yuta memberikan respon yang serupa dengan ucapan dari Jisung “itu ketakutan terbesar dan, gua juga takut.  Kalau, dia ngebenci lautan. Secara, dia pernah bilang”sela nya
“tempat berpulang dan jiwaku terdapat di lautan. Deburan serta gemerciknya menjadi belaian terhangat untukku, dan itu sebuah rasa yang tak akan terbayar dengan apapun, termasuk pun untuk diriku yang selalu mengagumi ciptaan Tuhan, terlebih, aku amat mencintai lautan. Bahkan, diriku yang terdahulu. Juga berpulang di tempat yang aku injak ini. Sebuah tempat yang tak akan bisa kalian arungi. ” sambung Yuta dengan lirih.

DEAR HAECHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang