Cerita ini merupakan novel fiksi sejarah/historical fiction, tidak untuk dijadikan rujukan atau sumber sejarah Indonesia pada masa kerajaan Hindu-Buddha.
***
Sang Parameswari Wilwatikta. Sesuatu yang meminta pengorbanan besar itu akan menempuh perjalanan yang panjang nan terjal. Melepaskan seluruh kenangan dan bakti pada nagarinya, sang putri bersiap untuk mengabdi. Ya, pengabdian selamanya. Rajawiwaha yang agung, itulah julukannya. Perkawinan yang tak hanya mengikat dua jiwa, tetapi menyatupadukan semesta. Bapa Angkasa yang bertemu dengan Ibu Bumi. Sungguh, begitu mulia dan sakralnya sebuah perkawinan antara raja dan permaisurinya.
Entah, berapa kali bibirnya menyerukan puja, beribu doa, dan seuntai asa. Gadis itu tak kenal lelah. Ia terus meminta dengan penuh keyakinan bahwa Acintya pasti mendengarnya. Tangan yang mengatup itu, diusapnya sesekali dengan penuh harapan. Juga memberi kehangatan untuk dirinya sendiri. Disaksikan diya-diya yang menyala terang, ia berteman dengan sepi. Dirinya akui, sulit baginya untuk menyelinap dalam kegelapan. Namun, keinginannya untuk menyendiri amatlah kuat. Dan tempat ternyaman saat ini adalah yang mampu menyajikan keheningan. Ah, arca Dewi Parwati yang menyambutnya seakan menampik kesendirian.
Sri Susumna Dewi. Itulah nama lahirnya. Ia dibesarkan sebagai seorang putri di Keraton Wengker. Gelar bangsawan yang disandangnya menjadi batu sandungan untuk merengkuh kebebasan. Begitulah bayaran dari segala kemewahan dan keagungan. Urusan hati pun, tak ia miliki sepenuhnya. Sudewi sangsi, pernahkah ia memiliki dirinya sendiri? Sudewi menengadah, ditatapnya lekat arca sang dewi yang seolah membalas tatapannya. Begitu lembut. Oh, ia rindu mata ibunya yang berpendar laksana rembulan. Sayangnya hanya itu momen yang terekam jelas di ingatan Sudewi. Ya, tentang perpisahan dan untuk terakhir kalinya ia bertemu sang ibunda. Setidaknya, sebelum ibunya tertelan gulita.
"Bolehkah putrimu ini bercerita, Biyung?" Tanpa sadar, Sudewi meminta kepada semesta untuk membawa ibunya kembali. Sungguh, ia tak siap jika harus berpisah. Mungkin, dirinya tak akan pernah siap. Senyuman tipis terlukis indah di bibirnya. Dengan diiringi dengan suara serangga malam, ia memulai kisahnya.
"Esok adalah hari bersejarah bagiku, juga bagi kerajaan ini. Putrimu ini akan menjadi seorang istri, Biyung. Ah, andai Biyung ada di sini, aku ingin memamerkan busana pengantinku yang konon merupakan busana terindah yang pernah dipakai oleh Putri Majapahit. Apakah Biyung benar-benar tidak ingin melihatku?" Sudewi mempertahankan senyuman yang hampir berganti dengan isakan. Air mata perlahan mengalir, mengikuti kontur wajahnya yang persis sang ibunda. Ya, bulat bagaikan sang candra. Oh, jangan lupakan pendarnya yang menyinari langit kala malam.
"Biyung tidak akan datang, ya? Aku akan menjadi permaisuri tanah ini, seperti impian Biyung yang menginginkanku menjadi wanita utama. Ya, akulah wanita utama itu." Sudewi mengusap kedua telapak tangannya sembari mengunci pandangan pada arca Dewi Parwati.
Satu helaan napas menjadi saksi bahwa terdapat peperangan maha hebat dalam batinnya. Ah, sekuat apa pun karang, suatu saat bena akan menghancurkannya. Semua itu berada di dalam genggaman sang kala. Sudewi tahu, di depan sana, sebuah jalan dengan tepian jurang siap menyambutnya. Itulah kehidupan dalam bingkai emas yang bernama istana. Terlihat indah, tetapi mematikan. Oh, bau anyir dari para pejuang itu selalu menghantui langkahnya. Ya, Sudewi tak akan pernah melupakan tragedi Bubat yang merenggut banyak nyawa. Gadis itu memejamkan matanya, ingatan melempar dirinya kala melihat orang-orang tak berdosa berperang menegakkan harga diri. Bayarannya tentu adalah raga tak bernyawa. Usapan terhenti, beralih saling mencengkeram, membentuk kepalan yang terbuat dari rasa sakit.
"Ibu, aku takut."
16 Agustus 2023
***
Hallo! Selamat datang di season kedua APSARA MAJA. Semoga ga bosen-bosen mampir ya! Jangan lupa vote, comment, dan share. Terima kasih 🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...