42 | Fana Meraja

843 82 38
                                    

Bersama dengan para dayang dan abdi dalem, Bawita bergegas menuju kediamannya. Wanita itu mencuri-curi pandang dan mengamati suasana Istana Trowulan bagian jro melalui celah di tandunya. Tak terbayang baginya bisa menapakkan kaki di istana nan megah tersebut. Hanya kemegahanlah yang menyambutnya. Pun, gelar agung telah disematkan oleh pria yang akan menjadi suaminya. Ah, menyebut sang Maharaja sebagai suami menyebabkan perutnya dipenuhi kupu-kupu. Bahagia rasanya bisa menjadi wanita yang terpilih. Tak dapat dipungkiri, semenjak dirinya mengobati Hayam Wuruk yang terluka, di situlah benih-benih cinta mulai tumbuh. Bawita benar-benar tak bisa melupakan sang Prabu yang biasanya hanya ia lihat dari kejauhan. Oh, Bawita harus berterima kasih kepada semesta yang mendukungnya.

Sesampainya di bangunan yang indah dengan taman bunga di pelataran, tandu pun diturunkan. Di sana, paricaraka-paricaraka kediaman selir siap menyambut penghuni baru. Paras ayu Bawita sungguh memukau, bisik-bisik yang menjalar terdengar memuja sang selir. Bawita melangkahkan kakinya penuh kehati-hatian. Lantas, seorang dayang terlihat lebih tua membungkukkan badannya.

"Salam hamba, Selir Bawita. Perkenalkan, saya Garini. Saya ditugaskan langsung oleh Sri Prabu untuk melayani Yang Mulia Selir. Untuk itu, apa pun yang Paduka Selir butuhkan, mohon beritahu hamba," ucap Garini—dayang senior yang telah mengabdi puluhan tahun di Kadatwan Trowulan.

Bawita sedikit merendahkan tubuhnya, terbiasa dengan tata krama sebagai asisten waidya ketika berada di Keraton Singhasari. "Saya berterima kasih kepada Anda, Dayang Garini. Tempat ini sungguh menakjubkan," balasnya dengan memamerkan senyuman di bibir yang terpoles lati aruna.

"Tegaplah, Paduka Selir. Anda tidak perlu membungkukkan badan kecuali berada di hadapan Gusti Prabu dan Gusti Parameswari." Garini mengingatkan tuannya. Dayang senior itu terkenal dengan ketegasan di kalangan dayang-dayang lainnya. "Saya akan mendampingi sekaligus mengajarkan Anda mengenai tata krama sebagai pendamping Sri Maharaja. Sebelum itu, Anda perlu memberikan penghormatan kepada Gusti Paduka Sori dan Gusti Ibu Suri Dyah Gitarja." Garini menoleh ke samping, tanpa melihat para dayang muda, ia berkata, "bantulah Paduka Selir untuk menyiapkan diri. Kita harus bertolak ke Kaputren sesegera mungkin."

Selayaknya abdi setia, mereka mengangguk dan langsung cekatan menuntun Bawita menuju patotoyan. Mau tak mau, wanita itu menurut tanpa memberikan bantahan. Seperti dugaannya, ia tak bisa langsung menemui Hayam Wuruk. Ya, orang pertama yang harus dirinya sapa adalah sang Permaisuri. Entahlah, Bawita tak pernah berbincang dengan wanita yang menyandang gelar sebagai garwa padmi itu. Setahu Bawita, Sri Sudewi—nama asli Paduka Sori—adalah wanita bangsawan yang berasal dari Wangsa Ring Pamotan dan klan Daha-Wengker yang memiliki pengaruh besar di Majapahit. Tentu saja, kuasa yang dimiliki Sudewi amatlah besar. Bagaimana mungkin orang kecil mampu meminta janji Eka Patni Vrata kepada pria yang akan meminangnya. Sungguh, Bawita hanya bisa menggelengkan kepala ketika menyadari orang yang akan ia hadapi bukanlah sembarangan.

Namun, akhirnya kau menjadi wanita raja, bukankah Eka Patni Vrata mustahil terwujud? Ingatlah, Sri Maharaja bukanlah Sri Rama.

Senyuman Bawita mengembang. Toh, ia sudah resmi ditunjuk oleh Hayam Wuruk di hadapan banyak orang—bahkan petinggi Majapahit sekalipun. Ada rasa bangga dalam hatinya. Nampaknya, ia perlu berterima kasih kepada pihak yang mendukungnya untuk mewakili Tumapel. Ah, memang benar, Bawita berutang budi kepadanya. Ada harga yang harus dibayar di setiap pengorbanan. Dan Bawita siap mengorbankan apa pun demi bisa berdiri di samping cinta pertamanya. Itulah bayaran yang sebenarnya.

Angan-angan Bawita akan kemegahan setiap sudut Kadatwan Trowulan terbayar sudah kala melihat Kaputren. Sungguh, tempat yang maha indah, layaknya swargaloka di dunia. Ah, mungkin Alengka iri karena kalah indah menyiapkan tempat untuk Dewi Sita. Taman Argasoka, itulah tempat yang terlintas di benak Bawita. Kediaman selir bukanlah tandingannya. Bawita terkesiap. Begitu memesona tempat tinggal sang Permaisuri Majapahit. Pengandaian terbayang-bayang sempurna. Andai-andai saja dirinya pernah mengecap takdir manis itu. Lamunan Bawita terganggu oleh Garini yang memintanya untuk turun dari tandu. Setiap gerakannya, selalu diawasi oleh dayang senior itu. Hal tersebutlah yang membuat Bawita jengah.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang