44 | Pelindung Raja

857 83 10
                                    

Tibalah saatnya hari penyambutan untuk tamu kehormatan. Mereka adalah rombongan dari Kerajaan Malayapura di Swarnadwipa yang dipimpin oleh Adityawarman. Ananggawarman yang memimpin rombongan. Ia merupakan putra Raja Malayapura sekaligus putra mahkota. Tujuannya bertandang ke Majapahit tak lain adalah guna mempererat hubungan kedua kerajaan. Pun, mereka memiliki kisah istimewa di masa lalu, di mana Adityawarman pernah dianugerahi kedudukan tinggi oleh Rajaputri Tribhuwana Wijayatunggadewi. Dengan membawa panji-panjinya, rombongan tersebut bergerak memasuki Gopura Siwak. Prajurit yang berjaga di Panggung Ruhur pun menabuh gong sebagai pertanda dimulainya upacara penyambutan.

Rombongan diarahkan menuju Siti Hinggil. Bangunan megah yang berada tak jauh dari Witana itu digunakan untuk menjamu tamu selain Kolam Segaran. Ananggawarman menunduk, menunjukkan salam penghormatan kepada sang Prabu. Dengan kirita mahkuta yang merepresentasi tanggung jawab besar, putra mahkota itu menunjukkan sopan santunnya kepada penguasa Majapahit yang berusia lebih tua darinya.

"Salam, Gusti Prabu Sri Nata Wilwatikta," ujar Ananggawarman memulai pembicaraan. Ah, Majapahit memanglah megah. Benar kata ayahnya, kemaharajaan agung tersebut sangatlah kaya, bahkan setelah memindahkan ibu kotanya ke Kotaraja Trowulan. Adityawarman bercerita bahwa ia sering mengunjungi istana raja saat Majapahit masih beribu kota di Majakerta. Prabu Jayanagara-lah yang mengusulkan perpindahan itu dengan alasan keamanan. Tidak hanya itu, letak ibu kota Wilwatikta sekarang berada di lokasi strategis karena sangat dekat dengan jalur perdagangan, yaitu Kali Brantas dengan Pelabuhan Canggu dan Pelabuhan Hujung Galuh yang menjadi pelabuhan terbesarnya.

Hayam Wuruk mengulas senyuman terbaiknya, kemudian mengarahkan Ananggawarman untuk duduk di kursi yang telah dipersiapkan. Setelah semua tamunya duduk dengan nyaman, Hayam Wuruk menanggapi salam yang tertunda. "Salam untuk Anda, Paduka Putra Mahkota. Saya berharap, hubungan baik antara Malayapura dan Majapahit tetaplah terjalin selamanya," ucap Hayam Wuruk yang saat ini mengenakan busana kemegahan. Tak lupa, kirita mahkuta bertengger gagah di kepalanya yang memancarkan aura keagungan seorang raja besar. "Bagaimana perjalanan Anda, Tuan Ananggawarman?" tanya sang Prabu kemudian.

Sebelumnya, para abdi dalem dan paricaraka memasuki Siti Hinggil dengan membawa sajian khas Jawadwipa dan srebad hangat. Minuman itu tidak pernah absen dalam perjamuan—selain tuak tentunya. Hayam Wuruk mempersilakan tamunya untuk menikmati hidangan yang telah dipersiapkan. Sajian mewah tersebut hanya bisa dinikmati oleh raja dan petinggi istana. Oleh karenanya, tak sembarang orang dapat memakannya, apalagi rakyat biasa yang tinggal di luar istana.

"Saya merasa beruntung karena berkesempatan melihat keindahan Jawadwipa secara langsung. Saya juga berterima kasih kepada Anda yang telah menyambut kami dengan tangan terbuka. Sebuah kehormatan bagi kami untuk bisa berkumpul—bahkan satu meja bersama Raja Majapahit." Terdengar dari tutur katanya yang terjaga apik, terpancar kuat aura bangsawan terdidik dari bumi Swarnadwipa itu. Jung yang dinaiki mereka sempat diterjang badai, untunglah awak kapal sigap mengatasi situasi genting tersebut. Ah, mereka adalah orang-orang yang berpengalaman, setara dengan pasukan wwang jaladhi kebanggaan Majapahit. Maklum saja, mereka berlayar tepat saat memasuki warsakala. Peralihan musim membuat cuaca tak menentu, apalagi di tengah lautan.

"Anda berlebihan, Tuan Ananggawarman. Saya yakin, kerajaan Anda jauh lebih indah. Dan ... Anda berada di depan saya karena saya belum pernah menginjakkan kaki di Swarnadwipa." Hayam Wuruk terkekeh pelan. "Bagaimana kabar Raja Srimat Sri Udayadityawarman?"

Ananggawarman mengunci pandangan dengan sang Maharaja. Ia memupuk rasa percaya diri dan berlatih untuk tampil tenang di hadapan penguasa Majapahit itu. Ya, selayaknya sang ayahanda yang dahulu merupakan duta ulung kebanggaan Wilwatikta. "Hanyalah kabar baik yang kami bawa, Gusti Prabu Sri Rajasanagara. Saat ini, Gusti Maharajadiraja tengah mengembangkan ibu kota baru dari Dharmasraya ke Pagaruyung. Kami tahu, pemindahan ibu kota tidaklah semudah membalikkan telapak tangan meski sudah memakan waktu bertahun-tahun. Untuk itu, diperlukan kerja keras dan kerja sama. Namun, kami tak memanfaatkan rakyat sebagai boneka, termasuk upeti yang telah dibayarkan tepat waktu. Kami melihat keberhasilan Prabu Jayanagara memindahkan ibu kota Wilwatikta. Dan kami rasa, kami juga sanggup melakukannya." Begitulah penuturan sang putra mahkota. Sesuai pesan ayahnya, ia harus berbicara dengan penuh percaya diri. Pun, maksud Raja Majapahit IV bertanya kabar Adityawarman bukan hanya persoalan personal, tetapi mengenai urusan kerajaan.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang