1 | Prosesi Rajawiwaha

2.9K 214 27
                                    

1280 Saka

Upacara Tukon dan pingitan selama dua minggu telah dilaksanakan dengan baik. Tibalah hari untuk melanjutkan prosesi Rajawiwaha, yaitu Upacara Pidudukan. Tamu undangan dan rakyat berbondong-bondong memasuki Gopura Siwak yang berada di utara Istana Trowulan dan menjadi gerbang utama komplek istana megah tersebut. Prajurit Wilwatiktapura mengawasi para tamu dan rakyat yang hadir melalui Panggung Ruhur, supaya tidak terjadi kerusuhan atau pun berdesak-desakan hingga menutupi akses jalan masuk.

Istana Trowulan memiliki dua wilayah, yaitu jaba dan jro. Rakyat masih diperbolehkan memasuki wilayah jaba, tetapi tidak diperkenankan untuk menyusuri wilayah jro karena tempat itu merupakan kediaman raja, permaisuri, keluarga kerajaan, dan para petinggi Majapahit. Upacara Pidudukan diselenggarakan di Witana, bangunan bagi bangsawan dan rakyat menghadap sang Maharaja. Terdapat dua Witana di Wilwatiktapura Majapahit, yaitu Witana jaba dan Witana jro. Bangunan tersebut merupakan bangunan terbuka dan berbentuk bujursangkar. Untuk Upacara Pidudukan, Maharaja Majapahit memutuskan untuk menggunakan Witana di wilayah jro.

Sebagai mempelai pria, Hayam Wuruk tiba di Witana terlebih dahulu. Ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada dan beberapa patih lain. Pria itu mengenakan Bhusana Gagampang Putra. Sang Maharaja dipersilakan untuk duduk di kursi kayu yang telah dihias oleh berbagai bunga dengan didominasi warna putih. Berbeda dengan kain raksasa menjuntai di setiap sudut Witana yang memiliki warna merah menyala dan berjumlah dua puluh empat. Hal tersebut seperti warna panji Majapahit, yaitu bercorak merah putih. Ketika Hayam Wuruk melihat ke bawah, terdapat sekat-sekat pendek yang memisahkan tempatnya duduk dengan lantai di Witana. Di sampingnya, terdapat kendi yang berisi air suci.

Dari kejauhan, Sudewi didampingi oleh Keswari, Wiku Wrddhacari, dan beberapa paricaraka yang berasal dari Kaputren. Sang dewi mengedarkan pandangannya. Wajah-wajah penuh suka cita dan harapan tertangkap jelas di netranya. Mau tak mau, Sudewi pun menyunggingkan bibirnya sebagai penanda bahwa dirinya juga tak kalah bahagia, meski dalam hati hanya dirinya yang tahu. Senyuman bagaikan garam menaburi luka lama yang terbuka semakin lebar. Putri Wengker masih mengingat jelas peraturan yang mengikat Parameswari Wilwatika untuk selalu menampilkan kesan baik dan kebahagiaan ketika bersua dengan khalayak umum. Ah, sial, Sudewi hanya bisa merutukinya dalam hati.

Hayam Wuruk tersenyum lebar melihat calon istrinya dengan langkah anggun memasuki Witana. Nampaknya, Sudewi telah mengikuti pengajaran selama dua minggu dengan baik. Lihatlah, sosoknya begitu anggun, tidak seperti saat ia masih berada di Wengker. Saat itu, Sudewi tak ubahnya bak perampok pasar yang jauh dari kata feminin. Semoga saja, putri dari pamannya itu tidak pernah melupakan tata krama ketika sudah diberkati dengan gelar ibu kerajaan.

Hanya Sudewi dan Acintya yang tahu bahwa gadis itu memendam niatan untuk berteriak dan menjambak rambut bergaya gelung cacandyan milik sang Maharaja. Sunggingan di bibir calon suaminya terkesan memuakkan. Jika melihat wajah Hayam Wuruk, Sudewi langsung teringat dengan Kaputren yang dipenuhi oleh kenangan Pitaloka. Oh, bukankah mereka adalah cinta sejati? Mungkin, beberapa ratus tahun kemudian cinta mereka abadi di tangan para citralekha.

Wiku Wrddhacari mempersilakan Sudewi untuk duduk di samping Hayam Wuruk. Tidak ada penolakan yang gadis itu lontarkan. Toh, sama saja, situasi di luar kendali ini tak mungkin ia hentikan begitu saja. Upacara Piduduka dipimpin oleh Pendeta Siwa dan Buddha. Pendeta tersebut mengguyur rambut sang Maharaja dengan air suci yang telah didoakan. Air tersebut sangatlah harum, campuran dari bunga mawar, melati, cempaka, dan lain sebagainya. Bahkan, wanginya pun bisa dicium oleh orang-orang yang hadir di sana.

Kemudian, para pendeta menyiram rambut Sudewi dengan air yang sama. Dingin, satu kata yang terlintas di benaknya. Prosesi ini seperti mandi kedua kalinya. Pagi tadi, ia sudah ditarik oleh para paricaraka ke patotoyan dan memakaikan gadis itu dengan Bhusana Gagampang Putri.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang