"Raden Sotor akan menyambut rombongan kita di Singasari," seloroh Ayahanda sang Maharaja yang bergelar Bhre Tumapel.
Hayam Wuruk menoleh singkat, kemudian melanjutkan kegiatannya mengasah pedang. Seusai mengadakan pertemuan dengan petinggi Keta yang bernama Arya Wiraprana dan pendeta Siwa dan Buddha, Hayam Wuruk memilih untuk meninggalkan kebisingan dengan berdiam diri di tendanya. Setelah meninggalkan Patukangan, rombongan lawatan bergerak menuju Keta. Tak lupa, untuk menghargai usaha penyambutan yang begitu meriah, sebelum benar-benar keluar dari gapura kota, Hayam Wuruk menaburkan kepingan emas untuk rakyat yang mengiringi kepergiannya.
Saat itu, semua nampak bahagia, terkecuali sang citralekha. Tepat akan beranjak menuju Keta, teman karib pujangga itu yang bernama Panji Kertayasa berpulang terlebih dahulu. Ia adalah seorang kawi Buddha yang menemani Mpu Prapanca melaksanakan tugas selama lawatan sang Maharaja. Hayam Wuruk melirik pujangga tersebut yang selalu setia menemaninya, selain Ra Banyak. Terlihat wajah murung nan sendu yang tak bisa ia sembunyikan. Sang Maharaja tahu, kehilangan sosok yang berharga begitu sulit untuk diterima, apalagi mengikhlaskan.
Namun, walaupun diluputi kesedihan, Mpu Prapanca tetap melaksanakan tugas sebagai citralekha Majapahit dengan baik, tanpa bantuan temannya. Hal itu dilakukan tak urung untuk memastikan bahwa perjalanan panjang Maharaja menyusuri Timur Jawadwipa tercatat dengan jelas dan runtut. Hayam Wuruk mendesah pelan. Ya, sebagai raja pun ia harus pandai bersandiwara agar terlihat baik-baik saja demi rakyat yang menggantungkan keberlangsungan kerajaan kepadanya. Maka dari itu, setelah sampai di daerah yang rawan konflik, Hayam Wuruk semakin rajin mengasah persenjataan dan memastikan bahwa benda-benda itu tak luput dari pegangannya.
Cakradhara mengambil cangkir yang berisi teh, kemudian menyesapnya selagi hangat. Ia juga mempersilakan Kudamerta untuk turut menikmati minuman tersebut. "Minumlah, Dimas Kudamerta," tawarnya.
Pria bergelar Bhre Wengker itu pun mengangguk. "Terima kasih, Kangmas Cakradhara," balasnya. Kudamerta sedikit mengaduh. Hampir saja bibirnya tersulut panasnya air teh. Untunglah, ia cukup berhati-hati.
"Tenanglah, Putraku. Melihat sambutan yang begitu meriah di sini, sangat mustahil terjadi serangan mendadak." Cakradhara menatap tak suka kepada Hayam Wuruk. Menurutnya, putranya itu terlalu khawatir jikalau terdapat pemberontakan seperti yang terjadi bertahun-tahun silam.
Hayam Wuruk menghela napas dalam. "Apakah Ayahanda melupakan kejadian penyerangan saat perjalanan menuju Kotaraja Trowulan? Bahkan sampai saat ini kita belum menemukan pelakunya," sanggah pria tersebut. Meski hati sang Maharaja sedikit tenang karena Keta membuka tangan selebar-lebarnya untuk perdamaian, tak membuat pria itu meloloskan diri begitu saja dan menikmati sanjungan. Baginya, kehati-hatian lebih penting dari apapun. Sebagai raja, wajar saja ada seseorang yang menginginkan dirinya jatuh, lantas menggulingkan kekuasaannya. Hanya kewaspadaan yang menolong Hayam Wuruk sampai di posisi ini.
"Setelah kita sampai di Singasari, kau bisa meminta bantuan Sotor untuk mengawasi rombongan saat dirimu melakukan puja bhakti leluhur. Ia adalah orang yang dapat dipercaya," usul Cakradhara yang membuat Hayam Wuruk memandangnya sangsi.
Hayam Wuruk menghentikan aktivitasnya sejenak, mengambil napas dalam, kemudian berucap, "mengapa Ayahanda sangat yakin dengan itu?" Setelah itu, ia kembali bergelut dengan pedangnya.
Cakradhara menghela napas panjang. Meskipun Raden Tetep dan Raden Sotor adalah saudara seayah, hubungan mereka tak sebaik itu, bahkan sudah terjadi sejak dahulu. Hayam Wuruk tak menginginkan Sotor untuk membantunya di Istana Trowulan. Padahal, biasanya seorang saudara laki-laki dari raja akan mengambil posisi penting di istana. Pun, kedudukannya kuat dengan berlindung di bawah kekuasaan sang Maharaja. Akan tetapi, semenjak dinobatkan menjadi penguasa Wilwatikta, tak ada niatan Hayam Wuruk untuk menyimpan Sotor di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Tarihi Kurgu-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...