4 | Lembar Baru

1.8K 155 7
                                    

Peringatan 21+

1281 Saka

Sabda raja tak terbantah, pawiwahan Nertaja dan Raden Sumana dilangsungkan di Istana Trowulan. Selama satu hari penuh, pengantin baru itu menjadi raja dan ratu. Busana yang dikenakan oleh Nertaja tak jauh berbeda dari Sudewi, begitu pun dengan suaminya, sang penguasa Paguhan. Rakyat berduyun-duyun memasuki pelataran istana. Tamu kehormatan berdatangan, hanya saja, tidak sebanyak saat Rajawiwaha. Doa dan puja bersahut-sahutan kala Nertaja dan Bhre Paguhan menyalami para tamu undangan.

Nertaja tampak anggun dengan kemben dan sinjang yang berwarna merah tua. Gadis itu selalu menampilkan senyuman tipis. Tak ayal, berbagai pujian pun kerap menyapa telinganya. Ah, adik dari Maharaja yang agung sangat memesona. Wajahnya mengingatkan orang-orang kepada Rajaputri terdahulu. Sementara Raden Sumana, pria itu terlihat gagah. Pantas saja penguasa Wilwatikta bersedia menerima pinangan dari pria tersebut. Dengan gelar kebangsawanan yang mentereng dan daerah kekuasaannya yang melintang di ujung barat Majapahit, serta berbatasan langsung dengan Sunda Galuh. Nagari Paguhan merupakan salah satu kerajaan vasal terbesar yang terdapat di Jawadwipa.

Di saat orang-orang hanyut dengan kemeriahan pesta, terdapat seseorang dengan bibir terkunci, memandangi mempelai wanita. Ia menghela napas panjang. Diremasnya sasampur yang menjuntai hingga menutupi sinjang bagian paha. Panas matahari yang dapat menyengat tubuhnya, dihalangi oleh payung yang dibawa oleh para paricaraka. Memang, sosok itu bukanlah sembarang orang. Ya, ialah sang parameswari.

"Apakah senyuman dapat lahir dari rasa keterpaksaan?" ucap Permaisuri Majapahit kepada dayang kepercayaannya.

Rarasati menggeleng. "Tidak, Gusti Parameswari." Untung saja, paricaraka itu tidak melewatkan tata krama ketika berada di luar Kaputren. Wanita di depannya bukan hanya seorang teman, melainkan ibu kerajaan. "Sama dengan kebahagiaan, Gusti Paduka Sori. Senyuman yang palsu dan nyata pun dapat dibedakan dengan jelas."

Sang dewi mengamini pendapat temannya. Ia menoleh ke arah Rarasati, terlihat dayang kepercayaannya itu kepanasan. Alhasil, Sudewi bergeser, membagi tempat teduh berpayung kepada sahabatnya. "Kemarilah, wajahmu sudah bermandikan peluh." Karena tak kunjung menuruti permintaannya, Sudewi menarik lengan Rarasati agar mendekat ke arahnya.

Dari kejauhan, Keswari berjalan cepat mendatangi Sudewi dan berbisik tepat di telinganya. "Gusti Prabu telah menanti kedatangan Gusti Parameswari di Witana." Tangan dayang senior itu terulur untuk memegangi lengan istri Hayam Wuruk tersebut. "Mari, hamba antarkan."

Sudewi mendesah pelan. Ia memutuskan untuk bergabung dengan anggota keluarga kerajaan di dalam Witana. Sebagai istri raja, tentunya sang dewi menduduki tempat di samping pria yang selalu hadir menjadi mimpi buruk baginya. Namun, semua itu harus ia tahan demi memperlihatkan makna sebuah kesempurnaan dalam keserasian antara dirinya dan sang Maharaja. Sudewi mengambil segelas air putih di depannya, lalu menegaknya hingga tandas.

"Beras di Kaputren selalu habis, adakah tikus yang memasuki kediamanmu?" Suara berat itu mampu membuat sang dewi menghentikan niatnya untuk meletakkan gelas emas di meja.

Sudewi tak menoleh. Tatapannya tetap tertuju kepada gelas di tangannya. "Aku mengirimkannya untuk Permaisuri Gi," akunya langsung. Sia-sia saja untuk menutupi semuanya dari sang suami mengingat dirinya memiliki kuasa penuh atas Wilwatikta.

Hayam Wuruk berdecih. Ia mengeratkan remasannya pada tangan kursi. "Apa dengan itu Permaisuri Yuan Raya akan menaruh perhatian kepadamu?" Pria itu menaikkan salah satu alisnya.

Sejenak Sudewi memberi jeda pada pikirannya. Lantas, sebagai pengalihan sekejap, ia menaruh gelas yang ada di tangannya ke meja. Ia melirik singkat wajah datar sang suami. "Hanya pengecut yang berhenti sebelum berusaha," tukasnya.

APSARA MAJA : SANG PARAMESWARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang