Aula utama kembali mencetak sejarah baru. Hari ini, sang Maharaja mengadakan pertemuan kembali. Seluruh punggawa kerajaan diminta hadir, termasuk dewan kerajaan, Puruhita, dan Sapta Prabhu. Kabarnya, sang Prabu akan memberitahukan hal penting yang akan berdampak pada masa depan Majapahit. Tentu saja, semua orang menantikan keputusan Raja Majapahit IV tersebut. Setelah menapaki satu per satu anak tangga, Hayam Wuruk urung duduk di singgasana. Pria itu berbalik badan, sorotnya menyapu segala arah. Ah, layaknya Surya Majapahit yang menunjukkan delapan arah mata angin. Hayam Wuruk mengulas senyum tipis, teringatlah ia pada Gajah Mada.
"Salam saya kepada para punggawa kerajaan." Hayam Wuruk membuka pembicaraan dengan lantang. Ya, pantang bagi seorang raja memperlihatkan kelemahan. Keputusan yang akan ia umumkan sungguh menyita waktu dan tenaganya. Sudah beberapa malam, tidurnya bagaikan mimpi buruk. Hingga fajar menyingsing, tak sekalipun ia memejamkan mata. "Saya tidak akan menutupi fakta bahwa di luar sana, banyak pihak yang berambisi menghancurkan Wilwatikta. Untuk itu, apa pun yang saya ambil, tak lain adalah untuk kelangsungan kerajaan ini. Oleh karenanya, saya membutuhkan seseorang yang bersedia mempersembahkan baktinya. Ialah sosok wanita yang terpilih"
"Kita tidak bisa diam saja saat Raden Sotor berusaha mengambil alih Tumapel dan Kahuripan, Gusti Prabu." Ra Kebo berkata gusar. Anak buahnya berdatangan silih berganti untuk melaporkan segala hal tentang pergerakan adik tiri raja tersebut. Sialnya, Sotor bagaikan belut yang licin, sangatlah sulit untuk ditangkap.
Hayam Wuruk memijit kepalanya yang berdenyut hebat. Lagi-lagi laporan tentang para pengkhianat yang harus ia dengar. Oh, sungguh melelahkan. Hayam Wuruk harus tetap mempertahankan kewarasannya. "Menangkap Sotor secara langsung adalah cara kuno, Ra Kebo. Mustahil bagi kita menghilangkan jejaknya dari muka bumi. Bedebah itu amatlah licik, apalagi mereka memiliki pasukan yang kuat dan setia. Bukan tak mungkin mereka akan diam saja melihat pemimpin mereka terpenggal. Ingatlah, kita tidak boleh gegabah, jangan sampai kita yang terbawa permainan," sahut Hayam Wuruk. Ah, ia mulai meneladani sifat Gajah Mada yang tak menggebu-gebu, tetapi cerdik. Benar kata ibundanya, ia bisa menghidupkan Mada yang bijaksana di dalam dirinya. Walau mahapatih itu telah pergi, tetapi ajarannya masihlah terkenang. Hayam Wuruk tak akan pernah melupakannya.
"Benar, Gusti Prabu. Saya senada dengan pendapat Anda. Lagipula, kita tidak hanya menghadapi ancaman yang datang dari Raden Sotor saja, tetapi juga Bekel Adiwilaga. Untuk itu, kita membutuhkan pendekatan secara hati-hati. Anda butuh pengalih, Paduka." Gajah Enggon yang duduk berseberangan dengan Ra Kebo menimpali. Semenjak kepergian Gajah Mada, Gajah Enggon berperan sebagai penasihat sang Prabu dan mengikuti setiap pertemuan tertutup. Pun, ia juga ditugaskan untuk mengawasi mesiu dan persenjataan yang didatangkan dari Yuan Raya.
Hayam Wuruk melirik Gajah Enggon sekilas, kemudian menganggukkan kepalanya. "Pengalih," ulangnya dengan penuh penekanan. "Anda benar, Gajah Enggon." Lantas, sang Maharaja mengalihkan pandangan kepada telik sandi kepercayaannya. "Ra Kebo," panggilnya.
"Hamba, Paduka Prabu." Ra Kebo menyahut cepat seraya menegakkan tubuhnya.
Hayam Wuruk berdehem, menyegarkan kerongkongannya yang kering. Ia menatap lekat telik sandi itu. "Apakah Panji Imba dan Panji Gentala telah melaksanakan tugasnya dengan baik?" Ya, mereka adalah dua telik sandi bawahan Ra Kebo yang ditugaskan mengawasi Tumapel. Kini, Hayam Wuruk benar-benar membutuhkan andil keduanya. Terdapat seseorang di nagari pimpinan ayahandanya yang menjadi tujuannya. Ya, Hayam Wuruk yakin, orang tersebut tak akan menolak keinginan seorang penguasa Wilwatikta.
"Saya ingin mengangkat garwa selir."
Bagai kilat yang menyambar di siang tanpa mendung, terkejutlah semua orang karena untaian kalimat sederhana, tetapi tak sesederhana maknanya. Bisik-bisik mulai terdengar, berpuluh-puluh pasang mata saling berpandangan. Benarkah perkataan sang Maharaja? Mereka berkali-kali memastikan bahwa apa yang mereka dengar nyata adanya. Oh, sosok tangan dewata tak mungkin menarik perkataannya, apalagi mendustai ucapannya. Memanglah benar raja mereka mencari sosok wanita yang akan menjadi dukan. Tentu saja, kabar itu menjadi buah bibir di kalangan penghuni istana. Tak ayal, bahkan seorang abdi berpangkat rendah pun ikut membicarakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
APSARA MAJA : SANG PARAMESWARI
Historical Fiction-Historical Fiction- {Apsara Majapahit II} Tidak, ini bukanlah sebuah dongeng, melainkan kisah klasik abad ke-14 di sebuah kerajaan digdaya Jawadwipa antara permaisuri dan tingginya tembok istana yang bernama pengabdian. Dibalik kemahsyuran seorang...